Wisuda di Rumah Sakit, STEINU Subang Sematkan Toga untuk Wafiq Nurul Hurriyyah

Sumber foto: benpas

SUBANG – Suasana pagi itu di RSUD Hamori Subang terasa berbeda. Di salah satu kamar rawat inap, bukan suara mesin medis yang dominan, melainkan bisik simpati, doa, dan harapan.

Di sana, di antara selimut putih dan tirai rumah sakit, ada sosok Wafiq Nurul Hurriyyah, wisudawati yang batal hadir di panggung utama karena insiden kecelakaan. Namun, hari itu tidak akan dilewati begitu saja.

Namanya terukir sebagai lulusan Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Nahdlatul Ulama (STEINU) Subang. Tapi, sebelum toga sematan resmi di panggung upacara, ia ikut gladi resik, dan nahas: tertabrak sepeda motor. Akibatnya, kaki kirinya patah, dan ia harus menjalani perawatan intensif di RSUD Hamori Subang.

Bagi banyak orang, insiden itu mungkin menjadi akhir dari momen sakral. Tapi tidak bagi Wafiq dan komunitas STEINU. Pihak kampus memutuskan: jika Wafiq tak bisa naik ke panggung bersama teman-temannya, maka wisuda akan datang ke kamarnya.

Siang itu, rombongan pimpinan kampus datang ke rumah sakit. Bersama Wakil Ketua I, Wakil Ketua II, ketua program studi, Kepala P3M, serta Komisaris RS Hamori, mereka menyusuri lorong rumah sakit, memasuki kamar Wafiq.

Ketua STEINU, Dr. Musyfiq Amrulloh, Lc., M.Si., lalu secara simbolis menyematkan toga ke pundak Wafiq. Tak lama kemudian, Sadath M. Nur, Kepala P3M, memberikan map tanda kelulusan atas nama institusi.

“Kami semua berdoa agar Adinda Wafiq lekas sembuh dan siap menapaki babak baru kehidupannya. Kejadian ini justru membuktikan komitmen STEINU Subang: mendampingi mahasiswanya, tak hanya saat sukses di atas panggung, tapi juga saat menghadapi ujian terberat,” ucap Sadath dengan suara yang tertahan haru.

Kehangatan Keluarga Turut Menyertai Wafiq

Air mata pun tak bisa ditahan. Orang tua, kerabat, dan rekan-rekan Wafiq hadir, membawa kehangatan, tepuk tangan kecil, serta doa di tengah keterbatasan ruang dan kondisi medis. Meski ruang rawat tidak selegkap ruang auditorium, makna hari itu terasa sama: pengakuan atas prestasi dan keberanian melawan keadaan.

Kisah Wafiq lebih dari sekadar dramatis, ia menjadi refleksi bagaimana institusi bisa hadir “di pinggir panggung”, bukan hanya di puncaknya.

Melalui peristiwa ini, kita diingatkan: tangguh bukan berarti tak pernah jatuh. Tangguh bagaimana kita bangkit, walau dalam keadaan paling rapuh.

Bagi Wafiq dan civitas akademika STEINU, momen itu lebih dari seremonial. Mereka ingin mengukuhkan bahwa wisuda adalah pengakuan atas perjuangan—bahkan saat ujian berat datang. Tanpa memandang kapasitas fisik, kampus memilih mendekat, ikut merayakan, dan memberi ruang penghargaan sekecil apa pun.

Semoga kisah ini menjadi inspirasi, agar kita semua tak ragu hadir untuk sesama, bahkan ketika keadaan tak ideal. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *