JAKARTA – Polemik antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan influencer Ferry Irwandi kembali mencuat setelah muncul rencana pelaporan atas dugaan pencemaran nama baik melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Namun, Menko Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan, TNI tidak memiliki dasar hukum untuk memidanakan Ferry dengan pasal tersebut.
Menurut Yusril, aturan pencemaran nama baik di Pasal 27A UU ITE adalah delik aduan yang hanya bisa diajukan oleh korban perorangan (individu), bukan institusi atau lembaga negara.
“Mahkamah Konstitusi sudah jelas melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024, bahwa frasa orang lain hanya merujuk pada manusia sebagai individu. Jadi, TNI sebagai institusi tidak bisa menjadi pelapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik,” kata Yusril di Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Putusan MK itu sekaligus mempertegas posisi hukum bahwa institusi negara tidak memiliki legal standing dalam perkara delik aduan pidana UU ITE.
Yusril juga menilai langkah Polri yang meminta TNI tidak melaporkan Ferry Irwandi ke ranah pidana sudah tepat.
“Polri sudah benar. Karena delik aduan harus diajukan oleh orang yang merasa dirugikan secara langsung, bukan lembaga. Kalau lembaga merasa keberatan, jalur yang tepat adalah perdata, bukan pidana,” ujarnya.
Lebih jauh, Yusril mengingatkan agar institusi negara tidak mudah merespons kritik publik dengan jalur pidana.
“Kalau tulisan Ferry hanya berisi kritik atau penilaian terhadap kebijakan TNI, itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Saya kira sebaiknya dibuka dialog dengan prasangka baik, bukan langsung mengkriminalisasi,” tegasnya.
Meski TNI tak bisa menggunakan UU ITE untuk memidanakan Ferry, Yusril menyebut masih terbuka opsi hukum lain.
“Kalau TNI menilai ada kerugian nama baik sebagai institusi, jalur perdata bisa ditempuh. Itu yang lebih sesuai dengan aturan hukum kita,” jelas Yusril.
Dengan demikian, isu pelaporan Ferry Irwandi oleh TNI melalui UU ITE dinilai tidak bisa diproses karena bertentangan dengan putusan MK. Kasus ini juga sekaligus menguji konsistensi penerapan hukum terhadap kebebasan berpendapat di ruang digital. (clue)