Saya membayangkan sebuah malam di Desa Cianaga, Sukabumi. Di bawah rumah panggung kayu, di antara kotoran ayam dan dedaunan lapuk, seorang balita kecil bernama Raya meringis. Digerogoti cacing, tanpa suara.
Ia menderita di tengah kebisuan rumah dan tatapan yang acuh. Suara bantuan tidak datang: bukan dari negara, bukan dari tetangga, bahkan dari sistem yang semestinya hadir terlebih dahulu.
Kematian Raya bukan sekadar kegagalan administrasi. Ini tragedi kemanusiaan. Saat kepala desa dan camat tampak anti-pandang, saat posyandu tidak aktif, dan saat kader PKK jutru lebih sibuk acara formal, ke mana empati di kala itu?
Semua Bicara Setelah Raya Pergi
Kematian seorang balita bernama Raya di Sukabumi menjadi berita nasional. Tubuh mungilnya menyerah pada serangan cacing yang bersarang di perutnya. Di abad ketika roket sudah bolak-balik ke luar angkasa, di negeri yang mengaku sedang menuju Indonesia Emas 2045. Ironi ini memukul telak. Namun, suara itu baru terdengar keras setelah Raya pergi.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi adalah yang paling cepat muncul di layar kaca. Sehari setelah kabar kematian itu pecah, ia mengumpulkan perangkat desa. Nadanya tinggi, jari telunjuknya menuding, “Perangkat itu tidak peka,” katanya.
Ia bahkan memutuskan langkah yang terkesan tegas. Menunda pencairan dana desa untuk Desa Cianaga, tempat keluarga Raya tinggal. Sebuah sanksi yang tampak gagah di depan kamera, tapi getir jika diingat: mengapa semua ini baru dibahas setelah seorang anak meregang nyawa?
Lalu giliran Komisi VIII DPR RI yang ikut menyalakan mikrofon. Mereka menggelar rapat, mengeluarkan kalimat-kalimat pedas: “Lurah, RT, RW, kemana saja?” tanya mereka seperti hakim.
Mereka menyebut tragedi Raya sebagai bukti kelalaian berlapis: publik yang apatis, dan pemerintah daerah yang tidak hadir. Namun lagi-lagi, kata-kata itu terdengar seperti gema yang datang telat—karena ketika Raya terbaring sakit, tak ada satu pun dari mereka yang datang mengetuk pintu.
Dan yang paling pahit datang dari Kementerian Sosial. Wakil Menteri Sosial Agus Jabo mengaku keluarga Raya ternyata tidak tercatat di Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Sistem yang semestinya jadi pintu masuk bantuan.
“Kalau tidak terdata, tidak bisa dibantu,” ujarnya datar. Kalimat itu terdengar seperti tamparan dingin: seolah empati harus mengisi formulir dulu sebelum bisa turun ke jalan.
Semua akhirnya bicara. Semua akhirnya bergerak. Tapi hanya setelah tanah merah menutup tubuh mungil Raya.
Birokrasi Membunuh, Empati Menyusut
Selain itu, salah satu alasan keluarga ini tak tertolong adalah administrasi. Tak punya BPJS aktif, tak terdata. Dokumen rumit. Bayangkan, di saat seorang anak berjuang untuk hidup, negara sibuk memeriksa berkas.
Selain itu, relawan sosial yang akhirnya membayar biaya rumah sakit sekitar Rp 23 juta. Pemerintah? Datang belakangan.
Kemudian, Netty Prasetiyani Aher dari Komisi IX DPR, menegaskan bahwa kematian Raya menandakan rapuhnya sistem perlindungan sosial—masih banyak keluarga miskin ekstrem yang tak terdata, tanpa akses layanan kesehatan dasar.
Dan Wamensos Agus Jabo menegaskan ini hanya terjadi karena keluarga Raya tidak masuk dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
“Kalau tidak terdata, tidak akan tertolong,” katanya.
Selain itu, bukankah ini tragedi kemanusiaan? Ketika seorang anak tak bisa diselamatkan karena tidak punya NIK?
Kemudian, Menteri PPPA, Arifah Fauzi, pun hanya bergerak setelah kematian Raya. Ia menyerukan diaktifkannya kembali posyandu, PKK, dan bidan desa untuk mencegah tragedi berulang.
Repotnya, kehadiran sistem kesehatan hanya muncul setelah korban tiada. Bukankah tragedi kemanusiaan terparah adalah saat bantuan datang… ketika nyawa manusia tidak lagi bisa diselamatkan?

Pemerintah Absen, Relawan yang Menolong
Ada fakta pahit: total biaya pengobatan Raya mencapai sekitar Rp 23 juta. Bukannya pemerintah turun tangan, justru lembaga sosial Rumah Teduh yang menanggung semuanya.
Rumah sakit sempat memberi keringanan, iya. Tapi pertolongan justru datang dari warga yang bergerak, bukan dari pemerintah daerah.
Bayangkan: saat kehidupan seorang anak bergantung pada empati sosial, formalitas birokrasi mengaburkan belas kasih. Kepala Desa Cianaga menyebut pengajuan BPJS sulit, dokumen administratif tak lengkap, proses BPJS “mentok”. Raya hanya bisa di bawa ke rumah sakit setelah relawan berjuang.
Rantai Empati yang Putus
Krisis ini menyiratkan satu hal: empati masyarakat dan pemerintah kini seperti tali elok yang putus di simpul paling dasar. Ketika anak kecil mati karena penyakit yang sebenarnya mudah di cegah, itu artinya tali itu putus tepat di tangan tetangga dan pejabat desa.
Bukannya kita tak punya dana. Dana desa tersedia, seharusnya bisa dibidik untuk sanitasi, MCK, jaring pengaman sosial. Tapi ketika dana itu menguap lewat birokrasi atau kegagalan moral, yang muncul adalah tragedi. Dan tragedi itu menuntut pertanggungjawaban bersama—bukan hanya sanksi ketika sudah terlambat.
Raya kehilangan hidupnya pada 22 Juli 2025. Ia ditempatkan di rumah sederhana, orang tua sakit ibu ODGJ, ayah penderita TBC. Ia hidup di antara ketumpulan empati dan kesenyapan yang mematikan.
Dinskes Sukabumi, baru setelah publik protes, akan memberi sanksi tegas pada Puskesmas karena tidak melakukan deteksi dini.
Lalu, Kemensos turun tangan setelah tragedi, merawat keluarga Raya, memindahkan anaknya ke Sentra Sosial, mengurus sang ayah dan ibu.
Suara Kecil untuk Tangis yang Menyeruak

Saya membacakan ini bukan untuk membuat kita merasa bersalah—tapi untuk membuat kita hancur secara moral. Ketika tragedi kemanusiaan terjadi, dan kita berdiam, maka empati kita telah mati di antara ketukan tulisan dan salam virtual.
Raya tidak wafat karena cacing. Ia wafat karena kegelapan empati. Tidak karena sistem tidak hadir. Ia wafat karena nurani kita tidak bangun.
Mari hentikan tragedi kemanusiaan yang bisu ini. Jadilah perangkat desa yang tahu, bidan desa yang peduli, tetangga yang bertanya, dan pemerintah yang bereaksi sebelum keheningan mengubur seorang balita. Sensitivitas bukan dikirim lewat ucapan resmi, tapi dihadirkan lewat tindakan nyata. (TiaraTale)
Baca juga : Prima Talaga Sunda Tawarkan Hunian Nyaman dan Terjangkau di Pusat Kota Subang