Dari Gundik ke Penguasa: Nyai Ontosoroh, Perempuan yang Menolak Tunduk

TiaraTale Edisi 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer

Dalam dunia sastra Indonesia, sedikit tokoh perempuan yang memiliki keteguhan, kecerdasan, dan perlawanan sekuat Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.

Sosok ini bukan sekadar karakter fiksi, tetapi cerminan nyata dari perempuan-perempuan yang terpinggirkan oleh sistem kolonial yang patriarkal. Pramoedya tidak hanya menciptakan Nyai Ontosoroh sebagai tokoh yang menarik, tetapi juga sebagai simbol perjuangan perempuan dalam menghadapi stigma sosial.

Dari Nyai ke Penguasa

Nyai Ontosoroh, yang bernama asli Sanikem, lahir dalam keterpaksaan. Ayahnya, karena kemiskinan dan tekanan sosial, menjualnya kepada seorang Belanda sebagai gundik. Namun, alih-alih tunduk dan menerima nasib, Sanikem mengubah dirinya menjadi Nyai Ontosoroh, perempuan yang berpendidikan, cerdas, dan mengelola perusahaan suaminya dengan tangan besi. Dalam dunia kolonial yang meremehkan perempuan pribumi, ia justru menjadi penguasa dalam dunianya sendiri.

Meski berstatus sebagai nyai—sebuah istilah yang lekat dengan konotasi negatif pada masa itu—Nyai Ontosoroh menolak untuk dipandang sebelah mata. Ia menguasai bahasa Belanda, memahami hukum, serta memiliki visi untuk mempertahankan haknya, terutama ketika menghadapi ketidakadilan hukum kolonial yang ingin merenggut anaknya. Ini menjadikannya lebih dari sekadar korban; ia adalah perlawanan itu sendiri.

Melawan Stigma dalam Masyarakat Patriarkal

Perjalanan Nyai Ontosoroh mencerminkan kenyataan pahit tentang perempuan dalam sistem kolonial: mereka sering kali dianggap hanya sebagai objek, tanpa hak dan tanpa suara. Dalam banyak kasus, perempuan yang menjadi nyai dipandang hina, meskipun mereka sering kali lebih berpendidikan dan mandiri dibandingkan perempuan yang tetap hidup dalam kungkungan adat. Nyai Ontosoroh melawan stigma ini dengan cara yang luar biasa—dengan membuktikan dirinya lebih mampu daripada para pria yang meremehkannya.

Pramoedya Ananta Toer dengan sengaja menghadirkan Nyai Ontosoroh sebagai kritik terhadap struktur sosial yang menindas perempuan. Dengan menjadikannya tokoh yang kuat, ia menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya berhak atas pendidikan dan kebebasan, tetapi juga mampu menjadi pemimpin dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam novel, Nyai Ontosoroh berperan sebagai ibu, pebisnis, dan intelektual yang menantang norma kolonial.

Mengapa Pramoedya Menghidupkan Nyai Ontosoroh?

Pramoedya Ananta Toer tidak menulis sekadar untuk bercerita. Ia menulis sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan. Tetralogi Pulau Buru, termasuk Bumi Manusia, ditulis saat ia dipenjara di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Dalam kondisi tertindas, Pramoedya menemukan inspirasi dalam sejarah Indonesia yang terpinggirkan. Nyai Ontosoroh adalah bentuk penghormatan terhadap perempuan-perempuan yang terlupakan dalam narasi besar sejarah nasional.

Pramoedya juga ingin menunjukkan bahwa dalam setiap penindasan, selalu ada perlawanan. Nyai Ontosoroh bukan sekadar nyai—ia adalah metafora bagi rakyat yang melawan kolonialisme dan ketidakadilan. Ia adalah cerminan dari kegigihan kaum tertindas yang menolak untuk dipaksa diam. Dalam konteks Indonesia modern, keberanian dan kecerdasan Nyai Ontosoroh tetap relevan, mengingat perjuangan perempuan dalam menghadapi diskriminasi masih terus berlangsung.

Cinta, Kekuatan, dan Pengkhianatan: Tragedi Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia

Selain kisah perjuangan, perjalanan Nyai Ontosoroh juga merupakan kisah cinta yang tragis. Hubungannya dengan anaknya, Annelies, menjadi salah satu aspek paling menyakitkan dalam Bumi Manusia. Meski telah memberikan segalanya—pendidikan, perlindungan, dan kasih sayang—Nyai Ontosoroh harus menyaksikan bagaimana sistem kolonial merampas kebahagiaannya. Keputusan hukum kolonial yang memisahkan Annelies dari dirinya bukan hanya pengkhianatan terhadap hak seorang ibu, tetapi juga simbol ketidakberdayaan pribumi di hadapan kekuatan hukum Eropa yang sewenang-wenang.

Tragedi cinta juga tampak dalam hubungannya dengan Minke. Minke, meskipun mencintai Annelies dan menghormati Nyai Ontosoroh, pada akhirnya tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi mereka dari hukum kolonial. Dalam hal ini, pengkhianatan bukan hanya datang dari individu, tetapi juga dari sistem yang membelenggu kebebasan orang-orang pribumi.

Namun, dari tragedi ini, Nyai Ontosoroh tidak hancur. Justru, ia menjadi lebih kuat. Kehilangan demi kehilangan menjadikannya perempuan yang lebih tegar dan berani menghadapi dunia yang penuh ketidakadilan. Seperti yang ia katakan kepada Minke dalam salah satu kutipan paling ikonik dari novel: “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Ketegaran Nyai Ontosoroh: Perempuan yang Menolak Tunduk

Ketegaran Nyai Ontosoroh adalah bukti bahwa perempuan tidak harus tunduk pada sistem yang menindas mereka. Meskipun awalnya ia menjadi korban dari patriarki dan kolonialisme, ia menolak untuk dikalahkan oleh keadaan. Ketika kebanyakan nyai lainnya pasrah terhadap nasib, Nyai Ontosoroh memilih untuk melawan, belajar, dan membangun kekuatan dari dalam dirinya sendiri.
Ketika kolonialisme merampas haknya sebagai ibu, ia tidak menyerah. Saat ia dihina dan diremehkan oleh masyarakat, ia membuktikan dirinya lebih cakap dibandingkan pria-pria yang merendahkannya. Ketika hukum kolonial tidak berpihak padanya, ia tetap menegakkan kepala, karena ia tahu bahwa perjuangan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan.

Nyai Ontosoroh mengajarkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin dalam hidupnya sendiri, meskipun harus menghadapi rintangan besar. Keberaniannya adalah inspirasi bagi perempuan masa kini yang masih berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Nyai Ontosoroh tidak hanya menolak tunduk—ia adalah lambang perlawanan itu sendiri.

Meskipun Bumi Manusia berlatar belakang era kolonial, perjuangan Nyai Ontosoroh tetap aktual dalam dunia modern. Masih banyak perempuan yang harus berjuang melawan stigma dan stereotip yang menghambat mereka. Sosok Nyai Ontosoroh mengajarkan bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan hidupnya sendiri, melampaui batasan yang diciptakan oleh masyarakat.

Perjalanan dari nyai menjadi penguasa bukan hanya kisah fiksi, tetapi bisa menjadi inspirasi nyata. Seperti Nyai Ontosoroh, perempuan di zaman ini memiliki kesempatan untuk mendobrak batasan dan menegaskan eksistensinya dalam berbagai bidang. Karena dalam setiap ketidakadilan, selalu ada perlawanan. Dan dalam setiap perlawanan, selalu ada harapan. (TiaraTale)

baca juga : https://cluetoday.com/membayangkan-dunia-tanpa-pram/

follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *