Kasus pembunuhan Vina Cirebon yang mangkrak selama 8 tahun membuat publik geram. Diangkatnya kisah vina ke layar lebar, membuat kasus tersebut kembali disoroti masyarakat luas. Bukan hanya karena kisah tragisnya, film tersebut seolah menjadi reminder bahwa kasusnya belum tuntas diusut.
Beberapa kejanggalan muncul ke permukaan. Mulai dari penyebab kematian yang ‘diralat’, korban salah tangkap hingga drama 3 DPO.
Selama 8 tahun, pihak polisi menyebutkan bahwa penyelidikan kasus Vina terus berjalan tanpa henti. Namun hingga eks terpidana Saka tatal kembali bebas, polisi baru menangkap 8 dari 11 tersangka.
Kepada awak media Saka mengaku merupakan korban salah tangkap dan mengalami tindakan kekerasan oleh pihak kepolisian. Saka juga mengaku tidak mengenal kedua korban dari kasus tersebut.
“Sama korban saya enggak kenal, saya bingung dan takut saat itu. Karena saya dipaksa sampai dipukul, ditendang, disetrum disuruh ngaku,” ujarnya Sabtu (18/5/2024).
Penangkapan Pegi dan Penghapusan 2 DPO
Bukannya semakin menambah titik terang, tertangkapnya Pegi alias Perong, salah satu dari 3 DPO malah semakin menambah kerumitan. Masyarakat terlanjur meragukan kinerja polisi dengan pengakuan Pegi yang tidak menunjukan tanda – tanda bersalah pada kasus Vina.
Selama 8 tahun penyidikan, polisi menetapkan jumlah DPO sebanyak 3 orang. Namun setelah penangkapan Pegi yang diduga sebagai otak pembunuhan, polisi tiba – tiba menghapus 2 DPO lainnya yang menambah keraguan bagi publik.
Polisi meralat jumlah DPO yang tadinya berjumlah 3 orang menjadi 1 orang DPO yaitu Pegi Setiawan yang telah berhasil ditangkap. Polisi menyebut, 2 DPO lainnya adalah fiktif.
“Dari hasil penyelidikan, DPO hanya satu. Dua nama yang disebutkan hanya asal sebut (berdasarkan keterangan dari para terpidana lainnya),” kata Kombes Pol Surawan.(26/5/2024).
Kebingungan jumlah DPO ini, kata Surawan, disebabkan karena adanya pernyataan yang berbeda-beda dari proses pemeriksaan.
Setelah dilakukan penyidikan mendalam, ternyata dua nama yang sempat disebutkan yakni Andi dan Dani tidak ada atau fiktif.
“Sejauh ini fakta di dalam penyidikan kami, tersangka atau DPO adalah satu,” pungkasnya.
Tuntutan dan simpati publik menekan pihak berwenang untuk segera menangkap pelaku yang masih buron. Masyarakat menyayangkan kinerja polisi yang tidak juga menemukan DPO yang sebelumnya berjumlah 3 orang tersebut selama satu dasawarsa. Hingga pada Selasa, 21 Mei 2024 Pegi Alias Perong ditangkap aparat kepolisian pada malam hari di wilayah Bandung.
Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Jules Abraham Abast mengungkap strategi Pegi dalam melakukan penyamaran. Abast menyebutkan bahwa Pegi mengganti identitas menjadi Robi Irawan sejak 2016.
“Upaya PS menghilangkan identitas dilakukan sekitar September 2016-2019. Dia menyewa kamar kontrakan di Katapang, Kabupaten Bandung, dan mengaku bernama Robi Irawan,” kata Kombes Abast.
Selanjutnya, ayah kandung tersangka Pegi, A Saprudi, kepada Tuti Jubaidah, pemilik kontrakan, mengakui Pegi sebagai keponakannya, bernama Robi.
“Punya 2 akun FB, atas nama Pegi Setiawan dan Robi Irawan,” jelas Abast.
Pegi yang berstatus sebagai pekerja bangunan membuat publik ikut bersuara, keraguan dan munculnya berbagai kesaksian menambah beban kerja para penyidik.
Keterangan polisi yang mengungkap bahwa Pegi berganti nama menjadi Robi ditepis oleh rekan kerja Pegi yang menyebutkan bahwa Robi bukanlah identitas yang digunakan, melainkan nama dari adiknya Pegi yang pada 2016 silam sama – sama berada di Bandung.
“Jadi Pegi ini bukan ganti nama, tapi adiknya ada yang namanya Robi. Semuanya saat itu ada di Bandung,” ucap Suharsono yang merupakan rekan kerja Pegi.
Suharsono (40) tidak yakin bahwa Pegi yang selama ini bekerja bersamanya adalah pelaku dari pembunuhan Vina karena ia menyebutkan bahwa Pegi sedang berada di Bandung saat peristiwa naas itu terjadi.
Keraguan masyarakat terhadap kepolisian dalam menangani kasus Vina mulai terjadi usai pengakuan Saka Tatal yang menganggap dirinya sebagai korban salah tangkap. Hal itu menarik perhatian publik hingga beranggapan bahwa polisi tidak melakukan salah tangkap, melainkan asal tangkap.
Seolah membenarkan ungkapan “No Viral No Justice”, polisi akhirnya menangkap pelaku usai penayangan film mendapat atensi publik. Namun, berbagai spekulasi terus berkembang dimasyarakat hingga pemberitaan media yang menyatakan pembenaran penangkapan pelaku menjadi lemparan keraguan, benarkah polisi menangkap pelaku? Tuntutan itu menekan pihak kepolisian agar membuktikan bahwa Pegi bukanlah “tumbal” kasus Vina.
Pengakuan kedua tersangka yang terlibat berhasil membuat rumit persoalan. Kepada media, baik Saka maupun Pegi mengaku tidak terlibat kasus bahkan tidak mengenal kedua korban.
“Saya mau bicara, Saya tidak terlibat pembunuhan itu, saya rela mati,” kata Pegi di Mapolda Jabar, Minggu (26/5/2024).
Dikrimum Polda Jabar Kombes Pol Surawan terus mengungkapkan bahwa gerak polisi dalam penanganan kasus telah sesuai. Ia menepis semua dugaan asal tangkap yang dilontarkan publik.
Surawan mengatakan bahwa Saka Tatal yang mengaku korban salah tangkap merupakan pengakuan tidak berdasar.
Tak hanya itu, penangkapan Pegi alias Perong juga didasarkan atas bukti – bukti dan dokumen yang sudah diperiksa.
“Kita yakinkan bahwa PS adalah ini. Kita sudah menyita sejumlah dokumen terkait dengan identitas, baik KK maupun ijazah. Kita yakinkan bahwa ini adalah PS alias Pegi Setiawan,” kata Surawan, Minggu (26/5/2024).
Terkait spekulasi masayarakat dan pemberitaan media sosial, Surawan mengatakan bahwa polisi sudah melakukan penyidikan sesuai pedoman.
“Terkait apapun yang disampaikan, ya itu terserah, silakan. Kami tetep berpegang atau berpatokan pada fakta penyidikan, jadi kita tidak berasumsi apapun di medsos terhadap penyelidikan yang kita lakukan. Kita berpedoman kepada fakta bukan asumsi,” tegasnya.
Penangkapan Pegi juga diakui kuasa hukum keluarga Vina, Dewi Intan yang menyebut bahwa polisi sudah bertindak kooperatif.
Masyarakat Perlu Pembuktian
Dikutip dari Pikiran Rakyat, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut polisi harus bisa mempertanggungjawabkan penyelidikan kasus ini demi menepis berbagai klaim dan kejanggalan yang ada dimasyarakat. Sebab, menurutnya, klaim-klaim tersebut mengindikasikan pembuktian yang dilakukan polisi tidak cukup kuat untuk menyimpulkan keterlibatan para terdakwa.
Bambang mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan serta Direktorat Kriminal Umum Polri untuk memeriksa kembali apakah penyidikan kasus penghilangan nyawa kedua korban pada 2016 silam sudah berjalan sesuai prosedur.
Ia menyebutkan terdapat dua hal penting yang harus dibuka polisi secara transparan. Pertama, terkait alasan polisi lamban menangkap 3 DPO. Karena, lambannya penangkapan ketiga pelaku sempat memicu tudingan bahwa salah satu orangtua buron punya jabatan tinggi di kepolisian. Meskipun, tudingan tersebut dimentahkan Polda Jabar.
Kedua, polisi harus bertanggung jawab terkait dugaan salah tangkap yang diungkap eks terpidana. Bambang menilai, sejauh ini polisi terlalu terpaku pada kesaksian korban yang kemungkinan muncul akibat intimdasi.
“Kalau tidak (diusut), risikonya akan muncul lagi keraguan masyarakat terhadap kinerja kepolisian, jangan-jangan ada yang direkayasa atau ditutup-tutupi,” kata Bambang.
Dengan ditetapkannya Pegi menjadi pelaku terakhir, perjalanan kasus Vina disinyalir akan segera berakhir. Namun, polisi perlu menepis semua kejanggalan yang ada dalam kasus hingga menutup keraguan masyarakat terhadap ketidakpercayaan masyarakat dalam proses penyidikan. Hal ini akan berkaitan terhadap kinerja dan citra polisi di masyarakat.(clue)