Subang International Journal of Governance and Accountability (SINGA)
Volume 2 Nomor 1, Juni 2024
SUBANG – Melalui BP4D, pemerintah Subang sedang gencar – gencarnya menangani permasalah stunting atau gagal tumbuh.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dikeluarkan Kemenkes, tingkat prevalensi Stunting di Subang mengalami peningkatan dari 15,70 persen pada tahun 2022, menjadi 18,70 persen di tahun 2023.
Peningkatan tersebut perlu diintervensi melalui serangkaian kebijakan. Supaya akar penyebabnya bisa diselesaikan dengan baik dan berdasarkan riset yang mumpuni. Tertuang dalam Journal SINGA, akar permasalahan dan solusi perlu digali Dan diterapkan dengan tepat guna.
Menurut Kemenkes RI, Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Penyebabnya, kurangnya asupan gizi untuk Ibu Hamil dan balita yang dilahirkan. Masalah stunting ini membuat was-was ditengah visi pemerintah menyiapkan “generasi emas” pada satu abad kemerdekaan Indonesia di tahun 2045. Akankah malah menjadi “generasi cemas”?
Sebenarnya, terkhusus di Kabupaten Subang, pemenuhan nutrisi pada ibu hamil dan balita dapat mengoptimalkan konsumsi ikan laut. Subang dikenal dengan potensi ikan laut yang tinggi.
Dalam penelitian Devry Pramesti Putri, dkk. yang terbit di Subang International Journal of Governance and Accountability (SINGA) pada Juni 2024, Kecamatan Blanakan di utara Subang, menjadi daerah penghasil ikan laut paling tinggi di Kabupaten Subang.
Di tahun 2022, sekitar 14.077,92 ton ikan dihasilkan kecamatan Blanakan. Menariknya, kandungan gizi ikan merupakan salah satu sumber protein hewani. Protein Ikan memiliki asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh. Spesialnya, mudah dicerna tubuh karena mengandung sedikit jaringan pengikat/tendon. Protein adalah zat gizi makro yang berperan dalam pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan tubuh.
“Oleh karena itu, dengan mengonsumsi ikan diharapkan dapat membantu dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein untuk sasaran 8000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), untuk mencegah terjadinya stunting pada balita,” terang penelitian tersebut.
Para peneliti tersebut berasal dari Pusat Riset Teknologi Tepat Guna BRIN Subang, SMKN 1 Legonkulon, dan Bagian Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinkes Subang. Menurutnya, ikan merupakan bahan pangan yang tergolong perishable food atau tidak tahan lama. Ikan hanya tahan 8 jam sejak ditangkap dan didaratkan sehingga mudah rusak.
Solusinya dengan proses pengolahan dan pengawetan ikan. Dengan proses tersebut, kandungan gizi ikan tetap terjaga. Proses ini juga bisa menaikkan nilai jual ikan melalui pembuatan produk berbasis ikan laut, seperti nugget, bakso, otak-otak, Bandeng Isi.
Produk berbasis ikan laut ini dapat digunakan untuk konsumsi kecukupan protein pada usia remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak berusia 0-59 bulan. Para peneliti melakukan kegiatan edukasi pencegahan stunting melalui intervensi gizi. Sebanyak 70 siswi dari SMKN 1 Legonkulon menjadi subyek penelitian.
Kegiatan bertajuk “Intervensi gizi spesifik terhadap sasaran 8000 Hari Pertama Kehidupan (HPK)”, berupa pemberian makan siang 24 kali selama 8 minggu berturut-turut. Menur makan siang dengan protein hewani dari produk ikan. Sebelumnya, 70 siswi tersebut telah diambil sampel darahnya untuk mengukur kadar ferritin dan hemoglobin usai dilakukan program tersebut.
Hasilnya, remaja putri yang rutin konsumsi produk ikan selama 8 minggu mengalami kenaikan kadar ferritin rata-rata 8,7 mg/L dan kadar hemoglobin rata-rata 1,05 g/dL. Sehingga berdampak pada pencegahan anemia pada remaja dan berkontribusi pada penurunan stunting.
“Intervensi gizi dengan produk dari ikan laut pada remaja putri dapat mencegah anemia dengan meningkatnya kadar ferritin dan hemoglobin pada serum darah, sehingga dapat berkontribusi untuk pencegahan stunting pada generasi penerusnya,” tulis Kesimpulan penelitan ini. (clue)