“Si Pita Merah” Berjuang Melawan Stigma

Subang–Aprilia (13), anak perempuan asal Pegaden itu penyintas HIV (human immunodeficiency virus). Ia harus mengkonsumsi obat antiretviral (ARV) sejak umur 3 tahun.

Aprilia tertular dari kedua orangtuanya. Keduanya telah meninggal. Kini Ia berjuang melawan penyakit itu bersama neneknya dan didampingi Dinas Kasehatan Subang, Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Subang, dan komunitas Female+.

“Ibu-bapaknya meninggal. Alhamdulillah April mah sehat. Sekarang kelas 6 (SD). Emak bantingtulang supaya sehat, waras,” cerita Nenek April.

April ingin diterima di masyarakat layaknya anak pada umumnya. Tanpa stigma. Ia bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke SMP Negeri 2 Pegaden. “Ingin ke SMP N 2 Pegaden,” ucap April dengan nada pelan.

Cerita perjuangan Aprilia ini disampaikan dalam peringatan Hari Aids Sedunia Tahun 2024 di Aula Pemda Subang, Senin (02/12/24). Mengusung tema “Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa”, kegiatan tersebut diselenggarakan KPA Subang.

Pita Merah menjadi simbol perjuangan penyintas HIV-Aids melawan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu. April tak sendiri. Data Dinas Kesehatan Subang, dari tahun 1999 hingga September 2024, sekitar 3573 kasus HIV dan Aids terjadi di Subang.

Sekitar 20,27 persen, kelompok usia 15-25 tahun menjadi kelompok paling banyak terinfeksi HIV dengan jumlah 724 kasus. Sedangkan yang sudah terinfeksi Aids, 12 kasus. Dengan kasus pertama di Subang, ditemukan pada tahun 1999.

“Ini mengalami peningkatan. (Awal 2024) hingga September saja sudah 370 kasus. Berpotensi bertambah,” terang Kepala Dinas Kesehatan Subang, dr. Maxi.

dr. Maxi menyebut, penyebab penularan HIV-Aids variatif. Mulai dari Perilaku Seks Berisiko, kontak cairan dengan penderita melalui darah, sperma, cairan vagina, dan ASI.

Selain itu, lanjut Maxi, kelompok pekerja seksual komersil (PSK) menjadi kelompok tertinggi.

“Pertama PSK sebagai kelompok primer. Kedua ibu rumah tangga. Kenapa ibu rumah tangga, karena ada “jembatan” laki-laki atau suaminya,” jelas Maxi, dalam paparannya.

Sementara itu, menurut pemerhati HIV Nasional, Sanding Bayu, penularan HIV terjadi dalam tiga gelombang. Ia menerangkan, tiga gelombang tersebut dimulai pada tahun 1987 melalui penularan seksualitas. Lalu pada tahun 1997 melalui suntikan, dampak dari pencegahan Narkotika.

“Subang kena gelombang kedua, tapi sedikit. Jalur seksualitas di Subang juga banyak,” ungkap Bayu.

Selain itu, perilaku seks berisiko hingga akses informasi mengenai HIV-Aids yang terbatas menjadi penyebabnya. Bayu juga menyebut, stigma dan diskriminasi di masyarakat, disinyalir menjadi penyebab terjadinya penolakan pada penyintas.

“Terjadi penolakan di kampus dan sekolah. Jadi, informasi mengenai HIV-Aids ini harus benar-benar diterima dengan baik,” terangnya.

Ia juga prihatin maraknya anak-anak yang mengakses konten pornografi. Dalam presentasinya, dia mengemukakan, anak mulai terpapar konten pornografi sejak kelas 9 SMP.

“Akibat pornografi, anak mengakses perilaku hubungan seksual berisiko,” lanjut Ia.

“Hubungan seksual laki-laki meningkat. Sialnya meninggal. Anak muda pun banyak,” tambahnya.

Dalam acara tersebut juga mengemuka tantangan pencegahan penularan HIV-Aids. Setidaknya terdapat empat poin tantangan.

Pertama, Remaja kesulitan mendapatkan ruang akses layanan tes kesehatan HIV. Hal ini diakibatkan rasa takut akibat stigma dan diskriminasi di masyarakat. Kedua, akibat stigma tersebut, saat pelaksanaan Tes Kesehatan HIV, kesulitan mendapat ijin Wali Murid.

Ketiga, Informasi mengenai kesehatan reproduksi masih kurang. Salah satu tantangannya karena masih tabu membicarakan hal tersebut di masyarakat. Selain itu, program pencegahan HIV belum terintegrasi antar pihak.

Kolaborasi jadi Kunci

Menurut Ketua Penyelenggara Hari Aids, yang juga Sekretaris 1 KPA Subang, Tatang Abdul Kudus menyebut, kolaborasi pencegahan penularan HIV-Aids di Subang mutlak dilakukan.

Hal ini juga merespon kondisi Subang yang tengah berkembang menjadi Kota Industri. Menurut Tatang, kondisi tersebut berpotensi meningkatkan kasus penularan HIV-Aids jika tak direspon dengan baik.

“Potensi penularan HIV-Aids ini bisa terjadi di usia produktif, didalamnya usia bayi. Balita, remaja, tak dikecuali. Hal ini membawa suatu kekhawatiran orangtua,” ucapnya.

Dirinya mengajak seluruh pihak, mulai dari pemerintah, guru hingga perusahaan swasta terlibat dalam pencegahan tersebut. Terlebih Subang sudah memiliki Perda Nomor 05 Tahun 2013 tentang Pencegahan HIV-Aids.

“Kita ingin mewujudkan anak-anak yg sehat dan itu tidak mudah. Pejabat, semuanya, harus berkibaku membangun pencegahan dari terjangkitnya penyakit tersebut,” ajak Tatang, kepada peserta kegiatan tersebut, yang didominasi guru-guru sekolah.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Daerah Subang, Asep Nuroni. Dalam sambutan yang mewakili Pj. Bupati Subang, Imran, Asep mengemukakan seluruh pihak harus memiliki kompetensi dan kepedulian mencegah penularan HIV-Aids.

“Saya ingin seluruh pihak berkompeten menanggulangi HIV-Aids. Bersama-sama menghilangkan stigma dan membangun kesetaraan sesama,” terang Asep.

Dimoment Hari Aids Sedunia, KPA Subang juga meluncurkan buku berjudul “Si Pita Merah”. Buku yang disusun selama satu bulan itu, berisi catatan pengalaman penyintas dan pegiat HIV.

“Belum ada perhatian tentang HIV-Aids di Subang. Mungkin ini bisa jadi inspirasi bagi kita semua,” ucap Nurbayanti, Pengelola Program KPA Subang.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *