Perempuan Boleh Menua, Paradoks Obsesi Anti Aging

Ada yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Pernyataan tentang childfree bikin awet muda dari influencer dan youtuber Gita Savitri mendadak viral. Mulai dari netizen di dunia maya, artis, hingga Wakil Presiden juga turut menanggapi pernyataan tersebut. Tak ada yang salah dengan childfree.

Hak setiap pasangan untuk memilih jalan tersebut. Sama seperti memilih untuk tidak menikah. Sah-sah saja. Mengingat membangun relasi pernikahan, apalagi memiliki anak merupakan tanggungjawab besar. Tak semua orang siap dengan itu. Namun pernyataan childfree bikin awet muda ini yang jadi pemantik. Memang kenapa kalau perempuan menua?

Konstruksi cantik, awet muda tanpa kerutan dan tubuh mulus di usia 30an keatas merupakan ekspektasi masyarakat tradisional yang tidak masuk akal.Memang ada perempuan yang mewarisi genetik “awet muda”. Tetapi kita juga terlalu dibombardir dengan kultur budaya layar kaca yang penuh dengan obsesi anti aging. Belum lagi hobi kita yang selalu membanding-bandingkan kecantikan dengan standar kecantikan hasil konstruksi “pasar”.

“Dijaga dong badannya nanti suami ngelirik yang lain loh…” “Duh… baru anak satu udah keliatan tua banget.”“Mukanya kusam gitu, makanya nikah dong biar gak jadi perawan tua.”

Ungkapan-ungkapan tersebut mungkin sering kita dengar. Jadi perbincangan lumrah. Padahal berbahaya. Perempuan dengan kulit yang mengendur dianggap sudah “basi” secara performa.

Bayangkan bagaimana konstruksi anti aging tersebut membuat perempuan kehilangan kepercayaan dirinya hanya karena kerutan di mata. Berbeda dengan laki-laki. Menua bagi laki-laki merupakan simbol kemapanan. Menua dengan uban dan kerutan di wajah dikonstruksi sebagai pujian yang membanggakan.

Tapi tidak untuk perempuan. Ekspektasi masyarakat kepada perempuan adalah tidak boleh menua.Obsesi anti aging ini menjadi paradoks ketika perempuan diharapkan untuk menikah, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Lagi-lagi, kodrat perempuan.

Harapan masyarakat tentang perempuan yang memenuhi kodrat namun tetap terlihat muda sangat tidak masuk akal.Maternitas atau kehamilan sudah pasti mendatangkan perubahan fisik. Perut yang membuncit, payudara membesar, strechmark dimana-mana, kulit kusam menghitam, ketahanan tulang berkurang.

Hal yang normal. Perempuan menjalani itu demi melahirkan jiwa baru ke dunia. Yang katanya merupakan penerus peradaban. Mereka berbagi kehidupan.Ide tentang perempuan awet muda yang tak masuk akal ini juga terlihat paradoks dengan kondisi fisik yang tercipta.

Hormon esterogen dan progesterone perempuan turun di usia 30an. Berbeda dengan hormon testosteron laki-laki yang cenderung stabil. Ketebalan kulit perempuan yang lebih tipis juga menyebabkan perempuan lebih cepat berkerut. Maka selayaknya perempuan tidak membebani tubuhnya dengan ekspektasi maskulinitas masyarakat. Jangan mau didikte pasar. Dijadikan manekin kesempurnaan semu.

Beban reproduksi biologis dan beban reproduksi sosial yang diemban perempuan sudah cukup berat. Tetap bergerak sehat tanpa dihantui rasa takut menjadi tua. Kita semua semakin “mahal” saat menua. Memiliki pengalaman, kemapanan berpikir, keanggunan sekaligus kedewasaan yang matang. Sempurna bukan? *TiaraTale

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *