Krisis Konsentrasi di Era Generasi TikTok

Oleh : Alvian

(Pendiri Komunitas Naratif Subang)

Dalam sepekan terakhir, saya mendalami fenomena short attention span atau semakin memendeknya kemampuan seseorang untuk mempertahankan perhatian. Hal ini berawal dari temuan saya bahwa banyak remaja mudah lelah saat membaca teks, bahkan kesulitan menyelesaikan satu paragraf. Serius, mereka benar-benar tidak tahan membaca.

Ketika saya menelusuri penyebabnya, salah satu benang merah yang saya temukan adalah kebiasaan menonton short video di TikTok. Pergantian video yang cepat menjadi hiburan favorit generasi Z, meskipun bagi saya pribadi, ritme tersebut terasa melelahkan bagi mata dan otak. Namun, kebiasaan ini ternyata memiliki dampak berbahaya pada kemampuan otak, khususnya dalam mempertahankan fokus.

TikTok dan Menurunnya Kemampuan Fokus

Pengguna TikTok terbiasa mengonsumsi informasi dalam bentuk video pendek yang terus berganti. Kebiasaan ini membuat otak terbiasa berpindah-pindah fokus tanpa mendalami satu informasi secara menyeluruh. Akibatnya, rentang perhatian semakin pendek, dan daya konsentrasi melemah.

Salah satu remaja yang saya wawancarai mengaku sulit memahami satu paragraf teks meskipun sudah membacanya berulang kali. Ia merasa otaknya dipenuhi bayangan informasi yang bertumpuk, hingga sulit menemukan inti dari apa yang dibaca. Tidak hanya remaja itu, saya juga menemukan banyak kasus serupa setelah berbincang dengan beberapa teman dan membaca jurnal terbaru tentang short attention span.

Dampak Nyata pada Kehidupan Sehari-hari

Seorang teman saya bahkan mengeluhkan hal yang sama. Ia kehilangan kemampuan untuk fokus membaca setelah intens menonton video pendek di TikTok. Ketika mencoba membaca, ia merasa kalimat-kalimat hanya lewat begitu saja. Saat ditanya inti dari bacaan, ia bahkan tidak ingat. Kekhawatiran ini membuatnya memutuskan untuk berkonsultasi ke psikiater, yang kemudian memberinya terapi fokus. Psikiater tersebut mengingatkan bahwa kebiasaan seperti ini dapat berkembang menjadi gangguan konsentrasi serius di masa depan.

Ancaman di Balik Gemerlap Media Sosial

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, yang berarti risiko dampak negatif seperti defisiensi fokus juga tinggi. Meski TikTok memberikan hiburan yang menyenangkan, sisi gelapnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sebagian praktisi pendidikan berpendapat bahwa guru perlu memanfaatkan TikTok untuk menyampaikan konten edukasi. Namun, menurut saya, itu bukan solusi utama. Membaca buku fisik tetap harus menjadi kebiasaan yang digalakkan. Kebiasaan ini bukan hanya untuk mengalihkan perhatian dari TikTok, tetapi juga sebagai bentuk terapi untuk mengembalikan kemampuan otak dalam menyerap, mencerna, dan memahami informasi secara mendalam.

Terapi Fokus: Kembali ke Buku

Membaca buku secara perlahan dan mendalam adalah cara terbaik untuk melatih kembali kemampuan fokus. Saat seseorang membaca, otaknya belajar untuk menghimpun informasi, mencerna pengetahuan, hingga menarik kesimpulan. Aktivitas ini membantu menjaga kesehatan otak dalam jangka panjang dan mencegah dampak negatif dari konsumsi media sosial berlebihan.

Fenomena ini menjadi peringatan bahwa di tengah gemerlap hiburan digital, ada ancaman nyata bagi kesehatan mental dan kognitif kita. Sudah saatnya kita mengedukasi diri dan generasi muda untuk kembali menghargai proses membaca, berpikir mendalam, dan menikmati ketenangan di balik lembaran buku.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *