Daily Dose of Sunshine, Menyingkirkan Stigma dan Memvalidasi Rasa

Oleh Tiara Maulinda Habibah

CEO Cluetoday

“Kita semua perlu waktu untuk pulih.” – Nona Song

Setiap orang bisa terluka. Setiap orang juga berhak punya waktu untuk pulih. Serial Daily Dose of Sunshine begitu apik mengemas kasus demi kasus kesehatan jiwa dalam bingkai sinema. Mengupas satu demi satu kasus penyakit mental yang masih penuh stigma. Membuat kita terhentak. Benar, setiap orang bisa terluka.

Lubang yang menggerogoti jiwa manusia itu seperti tak pandang bulu. Orang berpendidikan tinggi, bergelimang harta sejak kecil, keluarga lengkap nan harmonis, muda, tua, bahkan sampai perawat di bangsal poli kesehatan jiwa pun bisa kapan saja terluka.

Daily Dose of Sunshine adalah salah satu drama korea yang tayang di Netflix pada awal November. Seorang sahabat merekomendasikan serial ini. Menarik karena ulasannya membahas soal kehidupan di bangsal poli kesehatan jiwa. Akhirnya ditonton juga secara marathon tanpa jeda. Sebanyak 12 episode.

Alur serial ini dibuat sangat ringan dan jujur. Meski sebenarnya setiap dialog memiliki bobotnya sendiri. Tidak hanya mengenal berbagai kasus kesehatan jiwa. Kita juga diajak mengenali dan menyikapi penyakit mental ini dari perspektif personal dan eksternal.

Menariknya serial ini menyajikan visual yang blak-blakan dalam menggambarkan pikiran dan rasa dari orang yang mengidap bipolar, depresi, skizofrenia, dan lainnya.

Adaptasi dari Webtoon

Serial ini merupakan kisah nyata dari mantan perawat yang menulis ceitanya dan diadaptasi ke webtoon dengan judul Daily Dose of Sunshine karya Lee Ha Ra.

Namun beberapa review mengatakan banyak perbedaan antara webtoon dengan serialnya. Pertama, di webtoon karakter-karakternya digambarkan sebagai hewan dengan nama yang berbeda.

Kedua, dokter kolorektal di Rumah Sakit Universitas Myungshin tidak muncul di webtoon. Pembaca webtoon tidak akan mendapati banyak adegan-adegan lucu antara Dokter Dong dengan Jung Da Eun.

Studi Kasus Kesehatan Mental

Series Daily Dose of Sunshine juga terasa penuh dengan pembelajaran mengenai penyakit-penyakit mental. Dimulai dari perawat Jung Da Eun yang baru memulai pekerjaannya di poli kesehatan jiwa. Jung Da Eun berhadapan dengan kasus bipolar yang diidap Oh Ri-na.

Dari series ini kita menjadi tau bahwa pengidap gangguan bipolar tidak berarti memiliki kepribadian ganda. Bipolar memiliki dua fase yaitu manik, yang artinya penyandang gangguan bipolar akan merasakan peningkatan mood. Dalam film itu Oh Ri-na bisa sangat aktif dan percaya diri dan seketika bisa berubah memasuki fase kedua yaitu depresi.

Oh Ri-na digambarkan bisa menari dengan tidak menggunakan baju dan sangat bersemangat, berbelanja secara impulsif serta memiliki banyak teman. Namun di lain waktu Oh Ri-na bisa sangat depresi dan menyalahkan dirinya secara berlebihan.

Gangguan bipolar yang diidap Oh Ri-na diakibatkan childhood trauma. Sejak kecil dirinya hanya menuruti kemauan ibunya dengan keyakinan segala yang dipilihkan untuknya adalah hal terbaik.

Oh Ri-na akhirnya tumbuh sebagai perempuan berpendidikan tinggi dengan latar belakang keluarga kaya raya. Ia juga menikah dengan seorang hakim dan memiliki anak. Dari luar, kehidupan Oh Ri-na nampak sempurna. Namun siapa sangka, segala kesempurnaan itu malah membuatnya sakit.

Kasus Oh Ri-na juga membuka mata kita tentang pentingnya mencintai dan menghargai diri sendiri. Kemampuan menentukan sikap menjadi sangat penting.

Episode-episode selanjutnya juga banyak mengulas kasus mengenai skizofrenia, anxiety, depresi, dan masih banyak lagi. Seluruh kasus digambarkan utuh dari mulai penyebab sampai cara menanggulanginya.

Nakes juga Manusia

“Gangguan mental itu enggak bisa diprediksi dan bisa menimpa siapa pun, kapan pun dan di mana pun,” ucap Hyo-jin.

Di akhir episode, Jung Da Eun, perawat yang banyak disayangi pasien di poli kesehatan jiwa akhirnya ambruk terpuruk dalam depresi. Ia yang biasanya merawat pasien, terus menolak kenyataan dirinya yang didiagnosa mengidap depresi.

Jung Da Eun terpukul akibat salah satu pasien yang dirawatnya berakhir meninggal dunia akibat bunuh diri. Ia dihantui rasa bersalah karena tidak mencegah kepulangan pasien tersebut.

Awalnya Jung Da Eun mengalami fase penolakan. Pikirannya seakan memblokir ingatan tentang kematian pasien tersebut. Sampai pada suatu hari ia tersadar dan terhentak.

Berhari-hari Jung Da Eun hanya mengurung diri untuk tidur di kamar tanpa makan. Suatu saat, tanpa sadar ia hendak menabrakan dirinya di tengah jalan. Ibu dan seorang dokter yang merupakan teman dekatnya langsung membawa Da Eun ke bangsal kesehatan jiwa.

Meluruskan Stigma

Depresi yang dialami Jung Da Eun berangsur-angsur pulih saat dirinya sudah melalui fase penerimaan. Ia bertekad untuk sembuh demi ibu dan orang-orang yang menyayanginya.

Sayangnya dunia terlalu penuh dengan stigma negatif terhadap pengidap penyakit kejiwaan. Mereka dianggap tidak mampu untuk bersosialisasi dan bekerja seperti sedia kala.

Setelah pulih Da Eun merasa ragu untuk melanjutkan pekerjaannya di poli kesehatan jiwa. Pikirnya, bagaimana bisa perawat yang mengalami depresi menjadi perawat di poli kesehatan jiwa?

Hal yang Da Eun takutkan nyatanya terjadi saat ia dengan susah payah memberanikan diri untuk kembali bekerja. Para wali pasien melakukan demonstrasi dan meminta Jung Da Eun agar dipecat.

Hal serupa juga dialami adik dari kepala perawat poli kesehatan jiwa, Song Hyo-jin yang mengalami skizofrenia. Perawat Song kesulitan mencari tempat tinggal untuk ia dan adiknya karena kekhawatiran tetangga terhadap keberadaan pasien skizofrenia.

Belajar Menerima

“Jangan biarkan seseorang membuatmu merasa kecil. Berhentilah menyusut. Itu hanya akan membuat orang-orang menginjak-injak Anda.” – Perawat Song

Bertubi-tubi hujatan dan pandangan minor tentang Jung Da Eun membuatnya kembali ketakutan. Jung Da Eun sempat akan mengundurkan diri sebagai perawat. Beruntungnya semua teman dan keluarganya terus mendukungnya. Keberanian Da Eun untuk menghadapi dunia yang terus menghakiminya juga patut diacungi jempol.

Saat itu akhirnya Jung Da Eun belajar menerima kondisinya. Ia berdamai dengan situasinya. Tentu kondisinya saat itu membaik berkat dukungan orang-orang sekitar yang menjadi faktor penting keberhasilan seorang pasien untuk menerima kondisinya.

Dukungan masyarakat akan sangat berarti bagi para pengidap penyakit jiwa. Saat ini penyakit jiwa masih dianggap sebuah “dosa’ dan penuh dengan perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Series ini sedikit banyaknya membuka mata kita mengenai berbagai perspektif kesehatan mental. (TiaraTale)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *