Sistem demokrasi saat ini menjadi sistem yang terbaik dalam mengelola negara dibandingkan dengan monarki[1] atau sistem komunis yang otoriter. Sejarah dunia mencatat manusia berjuang untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan[2], hal ini adalah esensi dari demokrasi. Sebelum menjawab kenapa demokrasi substantif harus ditegakan maka harus dipertanyakan untuk apa manusia bebas dan mendapatkan keadilan?
Gusdur (1940-2009) di tahun 1990-an membentuk Forum Demokrasi (Fordem) sebagai antitesis dari ICMI (Ikatan cendekiawan Muslim Indonesia) yang dianggap sebagai wadah cendekiawan yang kepanjangan kekuasaan orde baru dan sektarianisme.[3] Setelah di bungkam oleh kekuasaan politik orde baru Soeharto selama 32 tahun, pelaksanaan demokrasi hanya bersifat prosedural yang sudah diseting untuk memenangkan Soeharto. Bagi Gusdur Indonesia untuk menuju kesejahteraan harus berdemokrasi terlebih dahulu. Hal ini tentu membuat panas telinga penguasa. Prinsip demokrasi tentang kebebasan berpendapat, berkumpul dan berpartisipasi dalam ruang publik menjadi penting.
Prinsip-prinsip utama demokrasi meliputi kebebasan berbicara, hak asasi manusia, hukum yang adil, dan partisipasi politik[4]. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa pemerintahan mencerminkan kehendak dan kepentingan rakyat secara adil dan efektif. Demokrasi bertujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang responsif dan transparan, dimana suara setiap individu dihargai dan diperhitungkan. Menurut Mahfud MD Demokrasi terwujud bila ada kedaulatan hukum .[5] Kedaulatan hukum adalah prinsip dasar yang mendasari sistem demokrasi, di mana hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Dalam sistem ini, semua tindakan pemerintah serta individu harus mematuhi hukum, sehingga kekuasaan tidak disalahgunakan dan hak-hak serta kebebasan individu dapat dilindungi secara efektif.
Mahfud MD juga menekankan bahwa kedaulatan hukum memastikan perlindungan hak asasi manusia dan menciptakan mekanisme pengawasan serta akuntabilitas yang efektif. Dengan adanya kedaulatan hukum, hak-hak dasar setiap individu, seperti kebebasan berbicara dan hak atas perlakuan yang adil, dapat dipastikan terlindungi dan ditegakkan. Selain itu, sistem hukum yang adil dan merata memungkinkan adanya pengawasan terhadap tindakan pemerintah, yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatkan transparansi serta kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Namun, implementasi kedaulatan hukum sering kali menghadapi tantangan, seperti korupsi, ketidakadilan dalam sistem hukum, dan lemahnya penegakan hukum. Untuk memastikan kedaulatan hukum berfungsi secara efektif, diperlukan reformasi sistem hukum, peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum, dan komitmen kuat dari semua pihak untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum. Dengan mengatasi tantangan ini, kedaulatan hukum dapat mendukung terciptanya demokrasi yang lebih adil dan berfungsi dengan baik.
Dalam praktik politik hadirnya kekuasaan yang tunggal itu bukan hal yang baik, maka diperlukan lembaga oposisi,[6] semangat mngeritik pemerintah adalah hal yang baik dalam demokrasi, ide ini ramai dibicarakan oleh Nurcholish Madjid (1939-2005). Dikaitkan dengan Masayarakat madani, dijelaskan perlunya demokrasi. Sikap Caknur yang demikian tentu dicurigai oleh Pemerintah orde Baru yang anti kritik. Caknur bukanlah intelektual yang menara gading yang jauh dari realitas social. Hegemoni dari suatu kekuasaan dengan aturan bisa melemahkan pertumbuhan demokrasi.
Pasca orde baru Indonesia memasuki masa demokrasi yang disemangati oleh prinsip kebebasan dan penegakan akan hukum. Masyarakat bisa berpartisipasi dalam politik dan tidak adalagi orang yang kebal hukum. Penguasa tidak boleh kebal hukum, bahkan Soeharto pun akan dibawa ke meja pengadilan, namun karena proses politik tidak memungkinkan hal tersebut terjadi. Hal ini tentu dalam analisa budaya politik ada semacam keengganan melakukan hal demikian. Kita bisa mengingat prinsip “mikul duwur mendem jero”[7]. Hal ini dikuatka karena loyalis dan yang terlibat dengan orde baru banyak, yang menutupi kebobrokan orde baru yang korup, otoriter, militeristik, manipulative.
Hegel menjelaskan bahwa manusia harus merealisasikan kebebasan,[8] senada dengan Imannuel kant, bahwa manusia harus otonom atau punya kehendak. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang mampu berpikir mandiri. Lebih dipertajam lagi secara eksistensial oleh Kierkeggard bahwa manusia itu harus menjadi subjek yang otentik bukan manusia yang dipengaruhi atu dikendalikan oleh kekuasaan, ideologi dan isme yang tidak sesuai dengan semangat kebebasan manusia. Dalam konteks di Indonesia apakah manusia Indoensia menginginkan demokrasi? Fakta sejarah menjelaskan bahwa Pemilu tahun 1955 adalah pemilu pertama dimana rakyat berpartisipasi dalam politik[9]. Demokrasi parelemnter saat itu membuat gaduh, sehingga hadir inisiatif dari militer untuk melemahkan parlemen, maka kekuasaan soekarno menjadi kuat, dengan demokrasi terpimpinnya dengan jargon “Revolusi belum selesai”[10]. Revolusi belum selesai, namun kekuasaan Soekarno selesai dijatuhkan oleh MPRS dan dukungan mahasiswa, hal ini dipicu oleh G30S PKI[11].
Soekarno diangkat jadi pemimpin seumur hidup[12], Peristiwa melanggar demokrasi, dan praktiknya ada beberapa tindakan Soekarno yang dianggap otoriter, misalkan memenjarakan Sutan Sjahrir, M.Natsir, HAMKA. Lalu apakah Rezim selanjutnya lebih baik, dengan alasan stabilitas pembangunan ekonomi Orde Baru lebih buruk ketimbang rezim sebelumnya. Awalnya Rezim Orde Baru demokratis, namun berubah jadi rezim otoriter.[13]
Sikap anti demokrasi bisa dilihat dari apakah suatu rezim anti kritik, tahun 1974 terjadi peristiwa Malapetaka Lima belas januari ( Malari)[14] sebagai aksi protes terhadap liberalisasi dan kapitalisme ekonomi lewat masuknya investasi jepang, demo terhadap PM jepang saat itu yakni Tanaka membuat rezim orde baru “berang”, banyak aktivis dan mahasiswa yang di masukan kepenjara, misal Hariman Siregar,Marsilam Simanjuntak, Muhtar Lubis, Rahman Tolleng, Julius Usman, Adnan Buyung Nasution, dll.
Menurut Amartya Sein, dalam membangun suatu kesejahteraan masyarakat khususnya ekonomi diperluakan demokrasi. Sein membuat penjelasan yang masuk akal, karena demokrasi esensinya adalah kebebasan, partisipasi, dan jaminan hokum. Pembangunan ekonomi tanpa demokrasi akan menyebabkan ketimpangan sosial. Hal ini terjadi di Indonesia sejak zaman Orde baru hingga saat ini, ketimpangan sosial terlihat. Bahkan kekuasaan di konversi menjadi Kapital ekonomi. Robert Michels menjelaskan bahwa Demokrasi melahirkan Hukum besi oligarki.[15] Para pemodal membiayai para politisi untuk menang dalam kontestasi politik, lebih lanjut para pemodal menjadi para politisi, hal ini tentu melahirkan elit politik, bahkan menguatkan oligarki. Demokrasi tentu tidak sempurna tapi ia sistem yang terbaik dari sistem komunis yang otoriter. Disisi lain demokrasi selalu berbiaya mahal, dalam buku relasi kuasa dan Uang Burhanudin Muhtadi menjelaskan bahwa money politics menjadi new normal dalam politik[16].
George Junus Aditjondro menulis buku berjudul Gurita Cikeas, hal ini membuat gerah rezim SBY yang notabene sebagai presiden pertama yang dipilih oleh rakyat bukan oleh MPR. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang dugaan korupsi terkait Bank Century[17]. Buku Gurita Cikeas fenomenal bersama kasus korupsi di Bank Century.
Plato mencemaskan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan populisme dalam sistem demokrasi. Dia khawatir bahwa pemimpin mungkin tergoda untuk mengejar kepentingan pribadi atau meraih dukungan massa dengan janji-janji yang tidak realistis. Menurutnya, hal ini bisa mengarah pada korupsi dan pengabaian kepentingan umum, sehingga memperburuk keadaan. Dalam Republik, Plato mengusulkan bentuk pemerintahan dimana pemimpin adalah filsuf-raja yang memiliki pemahaman mendalam tentang kebenaran dan keadilan, berbeda dengan sistem demokrasi yang dianggapnya cacat
Namun setiap kekuasaan menurut Lord Acton “ power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely’[18]. Aditjondro sebagai intelektual yang kritis mengulas mengenai potensi dan aktualitas korupsi rezim SBY, terjadi perdebatan publik. Namun kita bisa saksikan bahwa orang melakukan kritik tidak lagi dimasukan ke penjara. Bahkan ada yang berdemo membawa kerbau untuk menqiyaskan dengan SBY. JIka demokrasi itu soal kebebasan maka praktek ini tentu sudah terjadi, namun demokrasi itu harus melahirkan keadaban, kesadaran hokum dan kesejahteraan. Berganti kekuasaan eksekutif dan legislative jika kesejahteraan tidak merata maka pasti ada yang salah.Selain ada korupsi tentu ada penguasaan asset produski oleh para pengusaha besar yang dekat dengan kekuasaan.
Masyarakat Indonesia sudah akrab dengan politik, karena perkembangan teknologi informasi. Kebebasan mengakses informasi tentu adalah berkah dari demokrasi, namun demokrasi pun melahirkan sampah demokrasi seperti hoax, hate speech dan manipulasi informasi. Sikap yang terlalu mudah percaya pada informasi hoax akan menyebabkan gejolak social, sehinga perlu hati hati membaca informasi.Menurut Foucault ada relasi kekuasaan dan pengetahuan melalui wacana[19], Potensi seseorang bekuasa karena wacana. Pasca kolonial penjajahan secara fisik sudah tidak terjadi, namun menurut Gramsci penguasaan hadir sebagai pengaturan yang disebut Hegemoni. Lebih jelas lagi menurut Louis Althusser, bahwa kekuasaan negara yang otoriter menggunakan pengaturan dengan Ideological State apparatus (ISA) dan Represive State apparatus (RSA),[20] negara melakukan manipulasi dengan ideology untuk melemahkan atau menindas rakyat, misal asas pembangunan orde baru, asas tunggal Pancasila, namun manipulasi lewat ideologi jika tidak efektif akan menggunakan tindakan refresif seperti penyiksaan, penangkapan bahkan pembunuhan. Hukum adalah produk dari suatu kekuasaan jika demokrasi lemah. Di Indonesia pasca reformasi hadir Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Ombudsman untuk memperkuat Demokrasi.
Demokrasi di Indonesia melahirkan oligarki, segolongan orang punya duit membuat partai, lalu apakah hal demikian salah atau kelaziman? Karena demokrasi butuh biaya, setiap kontestasi membutuhkan biaya politik, sesorang bisa menjadi eksekutif atau legislatif harus memiliki kredibilitas, akseptabilitas, kapabilitas dan isi tas (duit). Lalu apakah demokrasi dengan praktik money politic akan baik-baik saja? Apaka aka nada gejolak sosial?
Habermas berargumen bahwa demokrasi yang sehat memerlukan ruang publik yang aktif dan inklusif. Ia mendefinisikan ruang publik sebagai arena di mana individu dapat terlibat dalam diskusi rasional dan bebas tentang masalah-masalah publik. Menurut Habermas, ruang publik ideal memungkinkan warga untuk berdebat secara terbuka dan rasional, membentuk opini publik, dan mempengaruhi keputusan politik. Ruang publik ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan khusus agar dapat berfungsi dengan baik dalam proses demokrasi.
Konsep komunikasi rasional juga merupakan inti dari pandangan Habermas tentang demokrasi. Ia percaya bahwa keputusan politik yang sahih harus didasarkan pada proses komunikasi yang rasional, di mana semua pihak dapat berpartisipasi dan menyampaikan argumen mereka. Dalam proses ini, keputusan harus diambil berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh semua peserta dialog. Habermas menekankan bahwa demokrasi yang efektif memerlukan mekanisme untuk memastikan bahwa dialog ini tetap rasional dan tidak terdistorsi oleh kekuasaan atau tekanan eksternal.
Pandangannya menawarkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana demokrasi dapat berkembang dan berfungsi secara efektif melalui komunikasi yang terbuka dan partisipatif, serta bagaimana ruang publik dan norma-norma komunikatif memainkan peran penting dalam legitimasi politik.
Demokrasi substantif adalah konsep yang mengutamakan kualitas dan substansi dari partisipasi demokratis, bukan hanya pada mekanisme formal sistem demokrasi. Sementara demokrasi prosedural lebih fokus pada pelaksanaan mekanisme seperti pemilihan umum dan kebebasan berpendapat, demokrasi substantif menekankan pada dampak nyata dari proses demokrasi terhadap kesejahteraan sosial dan keadilan. Konsep ini menganggap bahwa keberhasilan demokrasi tidak hanya diukur dari adanya prosedur yang benar, tetapi juga dari hasil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat secara positif.
Salah satu aspek penting dari demokrasi substantif adalah fokus pada kualitas partisipasi[21]. Dalam sistem ini, partisipasi tidak hanya terbatas pada pemilihan suara, tetapi juga mencakup keterlibatan yang meaningful dalam diskusi publik dan pembuatan keputusan. Demokrasi substantif menilai bahwa proses politik harus melibatkan semua anggota masyarakat secara efektif dan memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan berbagai kepentingan dan kebutuhan. Ini berarti memastikan bahwa suara semua kelompok dalam masyarakat, termasuk minoritas dan kelompok kurang terwakili, benar-benar didengar dan diperhitungkan.
Pemerataan dan keadilan sosial menjadi perhatian utama dalam demokrasi substantif. Konsep ini berusaha untuk mengatasi ketidaksetaraan ekonomi dan sosial serta memastikan akses yang setara terhadap kesempatan dan sumber daya bagi semua individu. Demokrasi substantif tidak hanya fokus pada hak-hak politik formal, tetapi juga pada hasil kebijakan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk menciptakan dampak positif yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengurangan kemiskinan, peningkatan pendidikan, dan akses layanan kesehatan yang lebih merata.
Mengintegrasikan prinsip-prinsip demokrasi substantif dengan penegakan hukum melibatkan beberapa langkah penting untuk memastikan bahwa prinsip demokrasi tidak hanya diterapkan secara formal, tetapi juga berfungsi secara efektif dalam praktik. Demokrasi substantif berfokus pada hasil nyata dan kualitas partisipasi, sementara penegakan hukum memastikan bahwa kebijakan dan peraturan dijalankan dengan adil dan konsisten.
Penerapan hukum yang adil dan konsisten adalah kunci untuk mendukung demokrasi substantif. Ini berarti bahwa semua individu harus diperlakukan setara di hadapan hukum, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Sistem hukum perlu memastikan bahwa tidak ada diskriminasi atau favoritisme dalam proses hukum. Mekanisme transparansi dalam sistem peradilan serta prosedur yang menjamin penerapan hukum secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan tertentu sangat penting untuk mencapai keadilan.
Transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum juga memainkan peran vital. Masyarakat harus memiliki akses publik terhadap informasi mengenai kebijakan dan keputusan hukum serta memiliki mekanisme pengawasan yang efektif. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat memahami bagaimana keputusan hukum dibuat dan mengapa tindakan tertentu diambil, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi hukum dan meningkatkan kualitas keputusan.
Keterlibatan publik dalam proses hukum dan pendidikan hukum yang baik juga mendukung implementasi demokrasi substantif. Melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum melalui konsultasi dan forum diskusi membantu memastikan bahwa keputusan hukum mencerminkan kepentingan rakyat. Pendidikan hukum yang efektif meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi lebih aktif dan menuntut penegakan hukum yang adil, serta mendorong reformasi sistem hukum yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan responsif.
Catatan Kaki
[1] Ubedilah Badrun , Sistem politik Indonesia kritik dan solusi sistem politik efektif , (Jakarta : Bumi Aksara 2016, 142
[2] Filsafat Sejarah Hegel memahami sejarah sebagai sebagai gerak perkembangan kemerdekaan yang semakin besar, lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), 106-107
[3] Virdika Rizky Utama , Menjerat Gus Dur mengungkap rencana penggulingan Gus Dur ,( Jakarta : Numedia Digital Indonesia, 2020), 111
[4] Muhammad Mutawalli, Negara Hukum Kedaulatan dan demokrasi (Konsepsi Teori dan Perkembangannya),( Surabaya : Pustaka Aksara, 2023), 190
[5] Moh. Mahfud M. D. Gus Dur Islam, politik, dan kebangsaan·( Yogyakarta: LKIS, 2010), 54
[6] Nurcholish Majid, Fatsoen, Nurcholis Madjid, (Jakarta : Republika, 2002), 171
[7] Maulwi Saelan , Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa , ( Jakarta: Visimedia,2008), 360
[8] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), 106-107
[9] M. Jusuf Kalla , Demokrasi Rumit, (Jakarta : Republika,2020),4
[10] Soekarno , Revolusi belum selesai kumpulan pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965, pelengkap Nawaksara, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2014), 2023
[11] Maulwi Saelan , Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa , ( Jakarta: Visimedia,2008), 271
[12] Rosihan Anwar, Sukarno, tentara, PKI segitiga kekuasaan sebelum prahara politik, 1961-1965, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor, 2006), 203
[13] M. Jusuf Kalla , Demokrasi Rumit, (Jakarta : Republika,2020),17
[14] Rizal Mallarangeng , Mendobrak Sentralisme Ekonomi, (Jakarta: Pustaka Gramedia, 2005), 77-78
[15] Firman Noor, Demokrasi dan oligarki , Jakarta: Bibliosmia Karya Indonesia, 2020),35
[16] 47,
[17] George Junus Aditjondro , Membongkar gurita Cikeas di balik skandal Bank Century , (Yogyakarta : Galang Press, 2010,) 6
[18] Lionel Stanley Lewis, When Power CorruptsAcademic Governing Boards in the Shadow of the Adelphi Case, (New Jersey : Transaction Publishers,2000), 1
[19] Ketut Wiradnyana , Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan dan Pengetahuan Arkeologi, (Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018), 53
[20] Sinisa Malesevic , Ideology, Legitimacy and the New State Yugoslavia, Serbia and Croatia, (New York: Taylor & Francis, 2013), 15
[21] Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, ( Jakarta : Humaniora, 2004), 38