Hari Buruh 2024: Subang Dinilai Belum Ramah Pekerja Disabilitas

SUBANG – Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Pasal 53 menyatakan setiap perusahaan swasta wajib mempekerjakan minimal 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pekerjanya. Sedangkan, di pemerintahan, BUMN, BUMD, wajib minimal 2 persen dari jumlah pekerja. Pasal tersebut menjadi proteksi untuk pemenuhan hak bekerja yang layak dan anti diskriminasi bagi penyandang disabilitas.

Menurut Sekretaris DPC Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Subang, Hosken Ginting, masih sedikit perusahaan yang patuh undang-undang tersebut. Ia menilai, baru PT. SUAI yang sudah menjalankan dengan mempekerjakan 80 orang pekerja disabilitas.

“Kalau melihat di Subang sangat sedikit perusahaan yg menjalankan atau mematuhi amanat UU terkait kesempatan bekerja untuk penyandang disabilitas. Dimana target minimal 1% dari karyawan. Tetapi ada perusahaan di Subang seperti PT SUAI yg sudah menerapkan dan menetapkan targetnya diatas aturan yaitu 2 %, dengan jumlah pekerja disabilitasnya mencapai 80 orang,” ujarnya.

Hal itu menurut Hosken, masih ada anggapan dari perusahaan bahwa proses kerjanya tidak memungkinkan mempekerjakan pekerja disabilitas. Sehingga, Ia mendorong perusahaan untuk beradaptasi dan melakukan terobosan proses kerja yang bisa mengakomodir pekerja disabilitas. Selain itu, pengawasan dari pemerintah diperlukan untuk melihat implementasinya.

Hosken mendorong, perlu adanya penghargaan dan hukuman dari pemerintah berdasarkan hasil audit kepatuhan.

Menurut Hosken, hal tersebut dapat dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan maupun Dinas Sosial. Pun demikian, pemerintah perlu pro-aktif untuk mendorong pelaku usaha patuh aturan tersebut.

“Kami merasa bahwa peran pemerintah masih sangat kurang. Dimana di setiap dinas tenaga kerja belum ada pintu masuk khusus untuk karyawan disabilitas untuk dapat mengakses lapangan kerja maupun pelatihan kerja. Sehingga kecenderungan aturan tersebut ini sangat lemah,” jelas Hosken.

Keberpihakan terhadap pekerja disabilitas dimulai dengan regulasi. Selain itu, fasilitas umum yang ramah disabilitas perlu dibangun untuk menunjang akses pekerja disabilitas. Sampai saat ini, Hosken menilai masih kurang.

“Budaya kita kurang ramah terhadap penyandang disabilitas. Contoh sederhana fasilitas umum belum tersedia buat mereka. Jadi pergerakan peningkatan pelayanan untuk kaum disabilitas harus dimulai dari regulasi dari atas. Mulai dari UU sampai Perda harus dibuat sehingga kesempatan terbuka. Serta adanya pengawasan yang bertingkat,” pungkasnya.

Perlu Komitmen Semua Pihak

Wakil Kepala bidang Kesiswaan, Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Subang, Irene, di sekolahnya masih menjadi tantangan untuk mengajarkan etika bekerja. Seperti hadir tepat waktu, tata krama, pemakaian seragam, berorientasi pada target.

“Bukan masalah jenis pekerjaan, tapi etika bekerja. Ini masih lemah di (SLB) kita untuk menggiringnya. Kalau masalah pekerjaan, anak kita belajar Tata Boga, menjahit, seni, tau-tau dapat kesempatan kerja di PT SUAI. Pabrik Kabel. Bukan jurusan elektro. Ini kaitannya dengan etika kerja,” tuturnya.

Siswa SLB Negeri Subang, dalam hal peningkatan keterampilan, beberapa kali mendapatkan pelatihan dari Dinas Sosial. Seperti pelatihan menjahit, memasak, elektro, servis HP dan alat elektronik. Pelatihan tersebut diberikan ke anak-anak Tuna Runggu, Tuna Daksa, dan Tuna Grahita. Selain itu, dukungan pihak orang tua penting diberikan.

“Kekuatan-kekuatan ini ketika dibawa keluar, butuh uji mental yang tinggi. Apalagi kalau orangtuanya, misalnya, gak support. ‘Ya udah kalo gak mau, di rumah aja’, ya tambah,” jelas Irene.

Terkait penyaluran alumni, SLB Negeri Subang, bekerjasama adalah PT SUAI untuk mempekerjakan Tuna Runggu dan Tuna Grahita ringan. Lebih dari 10 alumni yang bekerja.

Selain itu, perlu pendampingan saat bekerja. Seperti Tuna Runggu perlu didampingi gurunya sebagai juru bahasa isyarat saat berkomunikasi dengan pembelanja. Dukungan pemerintah melalui Dinas Sosial, kebanyakan baru berbentuk program pelatihan. Belum banyak menyasar ke penempatan lapangan kerja.

“Programnya lebih ke pemberian keterampilan, belum ke penempatan lapangan pekerjaan. Jadi akhirnya, walaupun mereka punya keterampilan, mereka punya keahlian, ketika di lapangan tidak diberi kesempatan, tetap saja akhirnya. Baru di fase itu,” ucapnya.

Ia berharap pemerintah dan pemilik usaha semakin peduli untuk memberikan akses kesempatan bagi alumninya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. (clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *