Hari Pers Nasional (HPN) baru saja dirayakan pada 9 Februari lalu. Tahun ini Presiden Joko Widodo menghadiri langsung perayaan HPN di kota Medan, Sumatra Utara yang mengusung tema “Pers Merdeka Demokrasi Bermartabat”. Presiden juga menyempatkan ngobrol santai dengan para Pemimpin Redaksi sambil menyantap legitnya durian medan.
Namun, dua puluh lima tahun sejak reformasi, jurnalis perempuan belum sepenuhnya bisa merasakan pers merdeka. Mereka masih harus menghadapi berbagai ancaman. Dilecehkan di lapangan saat meliput, jadi manusia minor di ruang redaksi, dan harus menerima saja saat hanya dipercaya untuk liputan-liputan “receh”.
Perlakuan di dunia kerja sangat nampak saat perempuan sulit menduduki jajaran puncak manajemen sebuah perusahaan media. Dikutip dari penelitian jurnalunpad.ac.id, menunjukkan bahwa jurnalis laki-laki masih dominan dibandingkan perempuan di sektor media, dan sedikitnya jurnalis perempuan yang berada di jajaran puncak manajemen (Perempuan, Media, dan Profesi Jurnalis karya Yolanda Stellarosa, Martha Warta).
Meski jurnalis perempuan sudah sering bersuara, namun budaya patriarki masih terlalu lekat dan membuat jurnalis perempuan kehilangan semangat, apalagi bagi mereka yang sudah menikah.
Diskriminasi dan pelecehan yang dihadapi jurnalis perempuan lebih terasa di daerah. Entah apa yang melatarbelakanginya. Keterbelakangan pengetahuan mungkin. Ironisnya, diskriminasi dan pelecehan juga sering datang dari sesama kawan jurnalis.
Riset theconversation tahun 2021 mengungkap ada sebanyak 1.077 jurnalis perempuan dari 1.256 responden (85,7%) pernah mengalami kekerasan. Dalam penelitian tersebut dikatakan jurnalis perempuan paling banyak mengalami seksisme dan body shaming secara lisan.
Selain itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis hasil survei terhadap 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi pada tahun 2022 mengungkap diskriminasi gender masih terjadi di perusahaan media.
Jurnalis perempuan juga menghadapi eksploitasi tubuh oleh redaksi supaya mendapatkan wawancara dengan narasumber tertentu.
Jurnalis perempuan harus terbiasa dengan penempatan tugas di peliputan hiburan, isu domestik, atau bisnis. Hal yang dianggap merupakan wilayah perempuan. Jarang sekali redaksi melihat minat dan kemampuan. Misal jurnalis perempuan menyukai peliputan politik, kriminal, atau investigasi.
Temuan-temuan buruk ini tentu tidak mencerminkan kebebasan pers bagi perempuan. Padahal kontribusi jurnalis perempuan menjadi vital terkait pengarusutamaan suara para perempuan di media massa.
Contoh saja, objektifikasi perempuan dalam media massa kita sangat terasa. Misalnya, judul berita “Intip Pose Seksi Atlet Cantik Voli Turki, Bikin Salah Fokus!”. Redaksi lebih tertarik membahas penampilan fisik sang atlet ketimbang pencapaian prestasinya.
Minimnya keterlibatan perempuan di meja redaksi akan berbanding lurus dengan output berita yang diproduksi. Sebaliknya, cara pandang perempuan bisa lebih berempati pada subjek berita.
Bahayanya objektifikasi perempuan di media massa berdampak langsung pada konstruksi berfikir masyarakat. Internalisasi anggapan bahwa nilai perempuan ditentukan oleh fisik menjadi budaya negatif yang terbentuk di masyarakat. Perempuan akhirnya saling berkompetisi dalam hal penampilan saja dan melihat perempuan lain sebagai ancaman.
Hal ini juga memperkuat budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Segala aturan tentang perempuan menjadi hak semua orang. Punya standar. Hanya agar dirinya dianggap “terhormat”.
Jika sudah begini, media massa perlu bertanggungjawab. Media yang merupakan corong masyarakat sebaiknya menerapkan zero tolerance terhadap segala diksirminasi, kekerasan, maupun pelecehan di lingkungan kerjanya. *TiaraTale