JAKARTA – Melalui Advanced Research and Invention Agency (ARIA), Inggris akan mengalokasikan dana hingga USD 66 juta, atau sekitar 1 triliun rupiah. Eksperimen ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi pemanasan global dengan memantulkan kembali sinar matahari ke luar angkasa.
“Untuk menyuntikkan partikel aerosol ke stratosfer guna memantulkan sebagian cahaya matahari yang vital ke Bumi dalam upaya menahan laju pemanasan global,” cuit laporan Times of London, mengutip dari mpnindonesia.com.
Selanjutnya, eksperimen ini berfokus pada metode Sunlight Reflection Methods (SRM), yang meliputi teknik penyuntikan aerosol ke stratosfer. Pendekatan ini dilakukan dengan melepaskan partikel kecil ke lapisan atmosfer atas untuk mengurangi radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi. Selain itu, eksperimen yang bertujuan untuk meredupkan sinar matahari ini juga merupakan bagian dari upaya untuk menghadapi perubahan iklim.

Teknik Penyemprotan Partikel Garam ke Awan
Di sisi lain, terdapat opsi alternatif bernama Marine Cloud Brightening. Yaitu teknik penyemprotan partikel garam laut ke awan menggunakan kapal guna meningkatkan kemampuan awan dalam memantulkan sinar matahari. Selain itu, Advanced Research and Invention Agency (ARIA) juga tengah mempertimbangkan gagasan rekayasa awan cirrus. Yang berada di lapisan atmosfer tinggi dan berperan dalam memerangkap panas. Melalui pengelolaan awan cirrus ini, para ilmuwan berharap dapat menurunkan dampak pemanasan atmosfer.
Di sisi lain, Profesor Jim Haywood dari Universitas Exeter juga menyoroti pembentukan garis terang pada awan akibat emisi kapal. Serta dampak letusan gunung berapi di Islandia pada tahun 2014 yang melepaskan sulfur dioksida dalam jumlah besar. Ia juga menekankan pentingnya data fisik dari eksperimen langsung untuk melengkapi simulasi model iklim.
Namun, meskipun demikian, rencana eksperimen ini mendapatkan kritik dari beberapa ilmuwan dan pengamat lingkungan. Mereka berpendapat bahwa manipulasi radiasi matahari merupakan solusi berisiko tinggi yang dapat mengalihkan perhatian dari prioritas utama, yakni pengurangan emisi gas rumah kaca. Bahkan, beberapa ahli menyamakan pendekatan ini dengan “mengobati kanker dengan aspirin” dan memperingatkan potensi dampak negatif, seperti perubahan pola curah hujan yang dapat mengancam ketahanan pangan global.
Hingga saat ini, belum terdapat perjanjian internasional yang secara khusus mengatur pemanfaatan teknologi geoengineering. Oleh karena itu, para ahli mendesak agar diberlakukan moratorium terhadap pelaksanaan proyek-proyek berskala besar guna menghindari dampak yang tidak terduga.(clue)
Baca juga : Presiden Prabowo Menjadi Kepala Negara Pertama yang Kunjungi Kantor Sekretariat Kabinet
Follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==