Reynaldy, anak muda yang lahir pada 30 Oktober 1996, menjadi Calon Bupati Subang pada Pilkada 2024. Kemunculannya menjadi buah bibir masyarakat. Ada yang mencibir, ada pula yang mendukung. Terlebih usianya yang baru 28 tahun. Banyak yang menafikan kemampuannya.
Namun, jika dirunut, ketertarikan Rey pada politik sudah muncul sejak ia masih SD. Pada 2003, Eep Hidayat tengah berkampanye Calon Bupati Subang. Kala itu, kampanye tersebut dihadiri langsung Megawati, Ketua Umum PDIP.
Dikelilingi massa banyak, sorak sorai kepada Eep dan Megawati membuat Rey makin tertarik pada politik. Rey masih bocah kelas 6 SD saat kampanye Eep. Dia bahkan merengek ke Elita untuk ijin gak sekolah. Demi naik ke panggung, ikut dan merasakan atmosfer kampanye Eep.
“Waktu itu menjelang UN. Ada kampanye akbar Bah Eep dihadiri bu Mega. Saya nangis-nangis ke Bunda (Elita) gak mau sekolah. Pengen ikut kampanye,” cerita Rey moment itu, Jum’at (18/10/24).
Eep Hidayat dengan Rey masih ada hubungan keluarga. Eep besan dari ibunda Rey, Elita Budiati. Kedekatan tersebut mempengaruhi minat Rey pada politik. Bahkan, masih bocah SD, sudah muncul tekad Rey ingin jadi Bupati.
“Kalo yang lain ingin jadi dokter, polisi, tentara, saya bilang ke Bunda ingin jadi Bupati,” ucapnya.
Penuturan Rey, sejak SD hingga SMA Ia memiliki kecenderungan sosial yang tinggi. Rey mengaku, lebih suka berinteraksi di luar sekolah dibanding hanya diam di kelas. Dirinya kenal dengan pedagang sekolah, hingga pegawai-pegawai TU sekolah.
“Saya dari SD suka ngobrol dengan pedagang sekolah, penjaga sekolah. Kalo perpisahan saya pasti ngasih kenang-kenangan,” kenang dia.
si Pembangkang Kampus
Karakter itu Ia jaga hingga bangku kuliah. Rey memilih Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Program Pendidikan Ilmu Pemerintahan menjadi pilihan Rey menimba ilmu. Ia lebih tertarik pada rumpun Ilmu Sosial. Sesuai karakternya.
Masa-masa kuliah jadi momen Rey meluapkan keresahan hati. Hatinya terganggu jika melihat ketidakadilan. Setidaknya seperti yang Ia lihat pada kawan-kawannya. Rey memang idealis kala itu. Bacaannya pun buku-buku Soe Hok Gie dan Tan Malaka, Bapak Republik.
Salah satu aksi yang paling dikenang adalah ketika ia memimpin demonstrasi untuk menolak UKT Mahal. Waktu itu, ada ketimpangan UKT. Menurut Rey, Unpad membuat keputusan menggratiskan UKT Fakultas Kedokteran, namun fakultas lain malah tak gratis.
Bukan tak mampu Rey membayar, namun Ia tak tega melihat temannya yang tidak mampu bayar UKT. “Pernah saya jam 2 malam, berani masuk Unpad, nyebarin selebaran dan poster. Waktu itu saya nolak UKT gratis Fakultas Kedokteran, sedangkan fakultas lain diperas,” kenang Rey.
Tak hanya itu. Rey mencap dirinya sebagai “Pembangkang” kampus. Dia pernah melawan Rektor Unpad, Tri Hanggono Achmad, gara-gara kebijakannya yang dinilai tak adil. Sang Rektor, menaikan UKT, namun jajaran Dekan malah diberikan fasilitas mobil. Saking keselnya, Rey mengganti foto Rektor dengan gambar Nagabonar.
“Saya bikin poster ‘orangtua kita capekcapek, cari duit, uang dipake Rektor beli mobil’, ganyang rektor, turunkan rektor,” cerita Rey menggebu.
Rey juga pernah menolak program Studi Banding Fakultasnya ke Bali. Gara-gara temannya tidak bisa ikut karena tak mampu bayar.
“Kalo gak bisa berangkat semua, gak usah jadi berangkat. Solidaritas,” alasan Rey.
Di kampus, Rey menjabat sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas. Semacam DPR-nya mahasiswa. Ia juga mendirikan Komunitas Padjajaran asal Subang (Kompas), komunitas tempat berkumpulnya mahasiswa Subang yang kuliah di Unpad.
Rey melihat, banyak mahasiswa Subang yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal saat kuliah. Sebagai ketua Kompas, Rey menginisiasi membuat Sekretariat sekaligus Asrama Mahasiswa.
“Waktu itu, saya nyari sekretariat yang banyak kamarnya. Biar bisa jadi tempat mahasiswa Subang,” kata dia, yang berambut gondrong bak vokalis rock Ali Akbar.
“Saya demo sambil memberikan solusi,” tambahnya.
Gairah aktivisnya jadi ciri Rey. Saat pulang ke rumahnya di Subang, Rey mengaku sering meluapkan keresahannya ke Elita. Bahkan sang Bunda, menurut Rey, sempat kesel kedirinya. Saat itu, Elita masih menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Subang.
“Kamu lama-lama, Ibu kamu didemo,” ucap Rey menirukan ucapan bunda.
Bunda di PDIP, Rey sudah Golkar
Rey akhirnya berlabuh ke Partai Golkar. Golkar menurut Rey, memberikan ruang bagi siapapun untuk berkembang lewat partai.
Jejak politiknya di Golkar bahkan mendahului Elita. Elita masih PNS, Rey sudah menjadi bendahara dipartai berlogo beringin itu. Termasuk saat Elita menjadi bakal calon wakil bupati dari PDIP pada Pilkada 2018.
“Saya masuk Parpol lebih dulu dibanding Ibu saya. Bahkan waktu ibu saya di PDIP, saya sudah jadi Bendahara Golkar Subang,” ucap Rey menolak anggapan dirinya dibawah bayang-bayang Elita.
Pada Pileg 2019, Rey maju sebagai calon DPRD Jawa Barat dari Dapil 11 (Subang, Majalengka, Sumedang). Dibalik keputusan pencalonan ada cerita menarik.
Rey menuturkan, awalnya Ia maju di DPRD Subang. Namun, Ketua DPD Golkar Jawa Barat saat itu, Dedi Mulyadi, memberikan kepercayaan pada-Nya untuk maju di DPRD Jawa Barat. Bahkan mendapuk Rey sebagai Wakil Ketua DPD Golkar Jabar.
“Satu-satunya orang yang memberikan pendidikan politik ke anak 21 tahun, menenteng-nenteng anak muda, adalah Kang Dedi Mulyadi,” ujar Rey.
Melalui jalan Politik, Rey ingin mengabdi pada Rakyat. Rey menjadi Anggota DPRD Jabar sejak 2019 dan menang kembali pada 2024. Rey memilih mundur dari DPRD.
Diusung Partai Golkar, PKS, PDIP, bersama Agus Masykur, Rey melanjutkan ikhtiar politiknya membangun Subang, tanah leluhurnya.
“Saya ingin dekat dengan (membantu) orang-orang (masyarakat),” ungkapnya. (ADV)