Clue Editorial
Kasus perempuan yang menjalin hubungan dengan pria beristri—sering disebut sebagai “gundik” atau “ani-ani”—dan kemudian meminta keadilan setelah mengandung, bukanlah hal baru. Masyarakat sering bereaksi keras terhadap perempuan dalam posisi ini, mencapnya sebagai pihak yang bersalah, tidak bermoral, dan pantas menerima akibatnya. Namun, apakah adil jika beban kesalahan lebih banyak dibebankan kepada perempuan dalam hubungan terlarang ini, sementara sang lelaki yang seharusnya memiliki komitmen pernikahan justru sering lolos dari penghakiman yang sama?
Secara manusiawi, perempuan yang hamil akibat hubungan seperti ini tetap berhak menuntut keadilan. Anak yang dikandungnya tidak memiliki kesalahan dalam situasi ini dan berhak mendapatkan pengakuan serta tanggung jawab dari ayah biologisnya. Ini bukan semata-mata tentang moralitas pribadi, melainkan juga tentang hak-hak dasar manusia dan hukum yang mengatur perlindungan anak serta perempuan dalam situasi rentan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang memungkinkan hubungan perdata antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya.
Namun, banyak perempuan dalam posisi ini akhirnya berbicara atau “speak up” ketika lelaki yang awalnya berjanji memberikan nafkah mulai lepas tangan. Tidak sedikit kasus di mana seorang perempuan mengungkap hubungan terlarang ini ke publik karena ia merasa ditinggalkan tanpa tanggung jawab.
Di sisi lain, masyarakat sering kali menilai bahwa perempuan seperti ini tidak berhak meminta nafkah karena kehamilan tersebut adalah hasil dari hubungan di luar pernikahan. Dalam perspektif agama, terutama dalam Islam, anak luar nikah memang tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, sehingga ayah biologis tidak berkewajiban memberikan nafkah. Namun, dalam hukum negara, ada ruang bagi perempuan untuk menuntut pertanggungjawaban, terutama demi kepentingan anak yang lahir dari hubungan tersebut.
Dalam perspektif etika dan moral sosial, perempuan yang dengan sadar menjalin hubungan dengan pria beristri tetap dianggap melanggar norma. Menjadi “orang ketiga” dalam sebuah pernikahan jelas merupakan tindakan yang dipandang tidak terhormat. Akan tetapi, yang patut dipertanyakan adalah mengapa dalam kebanyakan kasus, perempuan justru yang lebih banyak disalahkan?

Pria yang sudah beristri memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga komitmen pernikahannya. Jika ada perselingkuhan, bukankah ia adalah pihak yang pertama kali mengkhianati janji dan kepercayaannya kepada pasangan sahnya? Mengapa dalam banyak kasus, justru si perempuan yang mendapatkan lebih banyak cemoohan, sementara lelaki itu bisa tetap melanjutkan hidupnya, terkadang tanpa konsekuensi yang berarti?
Budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat turut berperan dalam menciptakan standar ganda ini. Perempuan sering kali diminta untuk menjaga moral dan kehormatan, sementara lelaki lebih mudah mendapatkan toleransi atas kesalahan yang sama. Inilah yang perlu dikritisi—bukan hanya soal kesalahan individu, tetapi bagaimana sistem sosial kita membentuk ketidakadilan dalam melihat kasus-kasus seperti ini.
Pada akhirnya, keadilan dalam konteks ini tidak hanya berbicara tentang hak perempuan yang ditinggalkan setelah hamil, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menilai dan menghukum sebuah kesalahan. Ya, ini adalah kesalahan mereka berdua. Dengan sadar, mereka memilih untuk melakukan hubungan terlarang tersebut. Maka, jika ingin bersikap adil, keduanya harus dipersalahkan secara setara, bukan hanya membebankan kesalahan kepada satu pihak saja.(vira/clue)