Oleh : Tiara Maulinda Habibah
“Salahkan Pelaku, Bukan Korban Perkosaan”
Semakin dalam aku mencari jawaban dalam matanya, semakin banyak kepedihan yang kutemukan. Beberapa bulan kebelakang aku kehilangan keceriaan yang menjadi ciri khas anak itu. Menanggapi perlakuanku, tiba-tiba tangisnya pecah. Sambil terbata-bata Ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang menimpanya. “Aku tak berharga lagi. Orang terdekatku telah memperkosaku berkali-kali”.
Peristiwa diatas tidak hanya terjadi sekali di kalangan perempuan Indonesia. Kejahatan perkosaan membuat mereka tak berdaya. Seakan tak cukup fisik dan harga diri yang tercederai. Mitos soal perkosaan yang diimani masyarakat semakin menyulitkan korban perkosaan.
Burt (1980) mendefinisikan mitos perkosaan sebagai keyakinan prejudisial, streotipikal, dan palsu tentang perkosaan, korban, pemerkosa. Lebih jauh lagi, di banyak masyarakat, mitos perkosaan menjadi bagian dari “pikiran sosial” (mempengaruhi proses penalaran dan pembuatan kesimpulan).
Mitos yang menyatakan bahwa perempuan menggugah laki-laki untuk memperkosanya, dibantah melalui berbagai riset. Faktanya ditemukan bahwa mayoritas perkosaan direncanakan. Perkosaan adalah tanggungjawab si pemerkosa sendiri.
Namun nyatanya perkosaan sering tidak dipandang sebagai tindak kekerasan, namun sebuah tindakan gairah. Kasus diatas menggambarkan bagaimana seorang anak korban perkosaan terbebani secara psikis akibat mitos perkosaan.
Pertama, Ia tidak berani bicara dari awal karena masyarakat cenderung memandang rendah korban perkosaan. Kedua, anak tersebut merasa tidak berharga lagi setelah mendapatkan kejahatan perkosaan. Ketiga, korban terperangkap dalam ketakutan. Keempat, ada harapan akan adanya perubahan yang terus berputar sebagai harapan yang ilusif saja.
Belum lagi, masalah pelaku yang merupakan orang terdekat korban. Biasanya keluarga atau masyarakat memilih menutup kasus tersebut tanpa penyelesaian. Apalagi jika korban hamil, semua intimidasi dan perlakuan diskriminatif harus ditelan korban.
Sementara itu, perkosaan membongkar tubuh kita tanpa izin. Dan tubuh kita cuma satu, dan tubuh itu erat bersatu dengan psike, jadi kalau tubuh diperlakukan tidak hormat dengan sendirinya jiwa juga terluka.
Hukum yang Tak Peduli Korban
Penalaran hukum yang sering bias dan menyudutkan korban, makin membuat proses hukum lebih sulit lagi dipastikan berlangsung nyaman dan memberikan keadilan bagi korban.
Jadi, pertanyaan di kantor polisi dan di pengadilan dapat sangat menyakitkan. ‘Apakah Anda juga memperoleh kepuasan dari peristiwa tersebut?’ ; ‘Waktu itu bagaimana pakaian Anda?’ ; ‘Mengapa tidak berteriak atau lari saja?’ ; ‘Kalau benar diperkosa mengapa baru melapor beberapa bulan kemudian?’
Kalau pelaku merupakan orang terdekat, cukup sering yang muncul dalam otak masyarakat dan penegak hukum adalah: ‘Kalau saling kenal ya berarti bukan perkosaan. Lah mengapa malam-malam bisa berdua atau bersama lelaki?’
Bahkan sesama perempuan pun sulit memahami penalaran kekerasan seksual. Perempuan yang memiliki pola pikir normatif yang seragam akan cenderung menyalahkan korban.
Menilik Pemberitaan Perkosaan di Media Massa
Banyak pemberitaan seputar perkosaan yang tidak manusiawi terhadap korban. Biasanya media menjadikan kasus ini seperti bahan bercandaan atau kejadian seksual biasa untuk daya tarik pembaca seperti bacaan stensilan (porno).
Dalam banyak pemberitaan, pelaku perkosaan sering ditanya apa motif mereka melakukan perkosaan dan hampir semua menyatakan penyesalannya (biasanya ditulis khilaf). Dan selanjutnya karena tidak mendapatkan pelayanan atau tidak puas secara seksual dengan istrinya.
Pemberitaan juga sering menggunakan kata “melampiaskan nafsunya” pada pelaku perkosaan dan digambarkan bagaimana nafsu itu berlaku dengan menambahkan kalimat “melucuti pakaian korban”.
Atas hal ini, perkosaan seolah sesuatu yang beralasan dilakukan atas dasar alami kebutuhan seksual laki-laki. Sementara pandangan korban sendiri jarang sekali terwakili. Menunjukan bahwa korban bukan sesuatu yang penting untuk diperhatikan.
Pemberitaan juga jarang menjadikan psikolog, sosiolog, dan kriminolog, apalagi yang perspektif gender (karena kasus perkosaan tidak lepas dari persoalan gender) sebagai narasumber dan tulisan yang mendalam mengurai kasus ini.
Pilihan kata dalam berita perkosaan pun sangat tidak menghormati, tidak peduli bahkan ikut menyakiti korban. Sering kita temukan kata seperti kiasan yang tidak menggambarkan keadaan sebenarnya seperti “digagahi”, sebutan korban perempuan seperti “gadis” atau “janda”, atau dengan menggambarkan perkosaan dengan rinci seperti “diperkosa bergiliran”.
Paling sering sebutan korban adalah istilah “ABG” (anak baru gede) untuk menekankan seksualitas perempuan yang baru matang. Kata-kata yang dipilih memberi pesan yang bersebrangan dengan kenyataan perkosaan yang sangat menyakitkan.
Sementara pada pelaku perkosaan seringkali ditambahkan “entah setan apa yang merasuki”, sehingga tampak sekali menunjukan perkosaan bukan menjadi tanggungjawab pelaku.
Dalam perangkat hukum pun kita dapat pelajari bagaimana perangkat hukum meminta korban untuk membuktikan apa yang menimpa dirinya sendiri. Bukan pada tersangka yang menyangkal pengaduan yang dilaporkan.
Belum lagi menilik hal paling substansial dalam media. Pemilihan judul, foto, dan ilustrasi. Demi mendapatkan perhatian pembaca, redaksi terkadang mengesampingkan norma atau perasaan korban.
Mayoritas redaktur yang bergender laki-laki juga semakin menyulitkan keberimbangan berita perkosaan. Dalam kelakar meja redaksi, mitos perkosaan sering terlontar.
Contohnya: ‘Kalau sudah berkali-kali begini berarti bukan perkosaan, tapi si perempuan juga turut menikmati’ ; ‘Ah ini kan pacarnya, namanya suka sama suka’ ; atau ‘Jangan-jangan perempuan ini bermaksud menjebak sang lelaki’.
Permasalahan ini seringkali tidak menjadi perhatian khusus redaksi. Padahal media mengemban tugas berat yaitu mengedukasi mayarakat. Ditambah efek media begitu besar, sehingga memperkuat pola pikir yang salah mengenai perkosaan.
Jika media sudah mendeklarasikan diri sebagai penyaji jurnalisme kuning atau yellow journalism, beberapa pihak bisa mengerti bahwa begitulah ciri khas yellow journalism dalam keilmuannya. Namun jika media selain itu turut menyajikan berita serupa? Darimana mata rantai mitos perkosaan bisa diputus? (TiaraTale)