Masih lekat dalam ingatan. Tangan kecilku dulu yang digandeng Ibu melalui lorong-lorong pasar. Badanku yang kecil melompat-lompat ingin tahu tumpukan apa yang ada disepanjang lorong pasar.
Mulutku tak berhenti bertanya, apa ini, apa itu. Ibu tak lelah menjawab sembari memilah-milih sayur. Sambil menawar harga kepada pedagang dan terkadang mengomel tentang naiknya harga pangan.
Tapi seketika mereka bisa tertawa bersama dan bertukar kabar. Ciri khas orang Indonesia. Mata Ibu paling jeli memilah barang. Ingatannya rapi menyimpan data harga. Ibu yang paling tahu jika ada harga barang yang naik.
Akibatnya kaki kecilku harus berjalan lebih jauh agar ibu bisa menemukan harga yang lebih murah meski itu hanya lima puluh perak saja. Ibu punya pedagang-pedagang langganan. Kualitas dan harganya yang lebih murah katanya.
Pedagang langganan Ibu juga sering memberi bonus cuma-cuma karena keterikatan emosional dengan pelanggannya. Tentu aku yang paling senang jika yang memberi bonus itu bakul kue. Saya sering mengamati cara mereka melakukan tawar-menawar.
Dilakukan dengan luwes dan lumrah. Sampai keduanya menemukan kesepakatan harga. Ibu pasti dapat harga yang lebih murah daripada sebelumnya.Bukan hanya transaksi jual beli saja. Pasar tradisional adalah tempat yang paling nyata sebagai representasi budaya orang Indonesia.
Senyuman hangat para pedagang, obrolan ringan tentang keseharian mereka, kemurahan hati para pedagang, dan sikap empati satu sama lain. Budaya silaturahmi sangat tercermin dari kegiatan di pasar tradisional. Hal tersebut tidak akan kita temui di pasar modern.
Tidak ada tawar menawar. Layanan dibuat self service. Bahkan saat di kasir, jarang sekali terjadi obrolan hangat antara pembeli dan penjual. Kehangatan yang tidak bisa diberikan oleh modernisasi.
Pantas jika hingga saat ini turis asing masih lebih senang berbelanjan di Pasar Sokawati Bali atau di Pasar Beringharjo Yogyakarta ketimbang di mall. Pasar tradisional memberikan pengalaman budaya yang luar biasa.Selain membeli bahan makanan, Ibu juga sering mengajakku mampir sarapan di bakul-bakul jajanan.
Bagian favoritku. Terkadang Ibu mentraktir nasi kuning, kupat tahu, atau bubur kacang. Tak lupa membawa pulang berbagai macam cemilan jajanan pasar. Maka bagiku pasar adalah surga kecil. Disana kami bisa menemukan semua kebutuhan. Kebutuhan perut dan kebutuhan sosial.
Lebih dari itu, bagi kami pasar juga bisa dijadikan tempat wisata keluarga. Ayah juga sering ikut ke pasar. Lepas adzan subuh kami sudah berangkat. Terkadang berjalan kaki atau juga menaiki dokar. Jika ada Ayah lebih seru lagi. Pasti ada bonus-bonus jajan dan bisa membeli majalah BoBo.
Pasar tradisional merupakan sebuah cerminan jati diri masyarakat kita. Namun sayangnya pasar tradisional seringkali tidak dikelola baik. Pemerintah daerah terkadang lupa dengan semua itu. Padahal jika Pemda bisa berinovasi dan mengelola pasar tradisional dengan baik, pemerintah bisa mengoptimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor tersebut.
Beberapa Pemerintah Daerah sudah melakukan hal tersebut. Pemda Bali misalnya, menjadikan Pasar Ubud dan Pasar Sokawati sebagai tujuan utama berbelanja sekaligus tempat wisata. Ada lagi Pemda Yogyakarta. Siapa yang tak kenal Malioboro. Setiap turis mancanegara ataupun turis lokal pasti menyempatkan berbelanja disana.
Tak hanya itu, dengan alasan pengelolaan pasar tradisional yang lebih serius, beberapa Pemerintah Daerah juga mempercayakan BUMD untuk mengelola pasar. Jakarta misalnya. PD Pasar Jaya sampai saat ini tercatat mengelola 148 pasar dengan omset bisnis yang diperdagangkan mencapai 150 triliun rupiah. PD Pasar Jaya juga terlihat rajin berinovasi dengan menciptakan pasar bersih dengan sentuhan ornamen khas Betawi.
Sampai saat ini, saya belum melihat Kabupaten Subang mengoptimalisasi pasar dengan sentuhan budaya dan pengelolaan yang profesional. Akankah Subang mengikuti jejak kota-kota lainnya yang berhasil mengelola pasar tradisional ditengah gempuran pasar modern? *TiaraTale