Perempuan Pekerja: Eksploitasi Ekonomi Berkedok Kesetaraan Gender?

Ilustrasi Pekerja perempuan di pabrik garment

Kesetaraan gender sering kali diangkat sebagai simbol kemajuan, tetapi ada kalanya narasi tersebut justru menutupi realitas lain: eksploitasi perempuan di dunia kerja. Sementara perempuan terus didorong untuk terlibat dalam dunia profesional, apakah peluang ini benar-benar memberikan kebebasan, ataukah hanya menjadi wajah baru dari sistem yang mengeksploitasi?

Belum lagi persoalan beban ganda yang kerap kali menghantui perempuan. Alih-alih memberikan ruang eksistensi, kenyataannya perempuan seringkali terpaksa mengambil pilihan untuk bekerja atas dasar kebutuhan ekonomi dan keharusan menjadi tulang punggung keluarga. Lengkap dengan ekspektasi menjadi ibu sekaligus istri yang baik sesuai konstruksi budaya.

Feminisme dalam Jeratan Kapitalisme

Gerakan feminisme yang memperjuangkan hak perempuan untuk bekerja merupakan tonggak sejarah penting. Namun, dalam praktiknya, kapitalisme sering kali menggunakan gagasan kesetaraan gender untuk kepentingan ekonomi.

Misalnya, perempuan diajak masuk ke dunia kerja tanpa perubahan berarti dalam struktur sosial yang membebani mereka dengan tugas rumah tangga. Hasilnya? Perempuan harus memikul beban ganda: produktif di kantor sekaligus tetap bertanggung jawab atas urusan domestik.

Perusahaan juga kerap memanfaatkan narasi kesetaraan ini untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Perempuan sering ditempatkan pada posisi dengan gaji rendah, jam kerja panjang, dan kondisi yang tidak ideal, tetapi dibungkus dengan label empowerment. Bahkan di sektor formal, seperti industri kreatif atau teknologi, banyak perempuan yang merasa harus bekerja lebih keras untuk membuktikan diri, hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sama seperti rekan laki-laki mereka.

Beban Ganda yang Tak Pernah Usai

Salah satu realitas pahit dari dunia kerja adalah ekspektasi ganda yang dihadapi perempuan. Meski mereka memiliki pekerjaan profesional, tugas sebagai ibu, istri, atau pengurus rumah tangga tetap dianggap sebagai tanggung jawab utama.

Menurut laporan UN Women tahun 2023, perempuan secara global menghabiskan rata-rata 4,2 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga tidak berbayar, dibandingkan dengan laki-laki yang hanya menghabiskan 1,7 jam. Data ini memperlihatkan bahwa meskipun perempuan bekerja di luar rumah, beban domestik mereka tidak berkurang secara signifikan.

Hal ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga merugikan perempuan dalam jangka panjang. Kelelahan fisik dan mental menjadi hal yang umum, sehingga sulit bagi perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka baik di ranah profesional maupun personal. Dalam beberapa kasus, beban ini bahkan mendorong perempuan untuk keluar dari dunia kerja, yang justru memperkuat stereotip bahwa perempuan kurang kompeten atau tidak cocok untuk peran tertentu.

Perempuan Sebagai Tulang Punggung Keluarga: Beban atau Pilihan?

Dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Namun, sering kali peran ini bukanlah hasil dari pilihan yang bebas, melainkan tekanan ekonomi yang terbungkus dalam narasi kesetaraan gender. Ketika laki-laki kehilangan pekerjaan atau penghasilan mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, perempuan sering kali “dipaksa” untuk masuk ke dunia kerja guna menutup celah tersebut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2022, sebanyak 40% rumah tangga dengan anak di bawah usia 18 tahun di dunia memiliki perempuan sebagai pencari nafkah utama. Namun, penelitian yang sama menunjukkan bahwa perempuan dalam posisi ini cenderung menghadapi risiko kesehatan mental yang lebih tinggi, termasuk kecemasan dan stres kronis, dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi pencari nafkah utama.

Namun, narasi ini sering diromantisasi dengan dalih pemberdayaan. Realitanya, banyak perempuan yang harus menerima pekerjaan dengan upah rendah atau kondisi kerja yang eksploitatif, hanya untuk menopang kebutuhan keluarga. Mereka tidak hanya bertanggung jawab atas keuangan rumah tangga tetapi juga tetap dibebani ekspektasi untuk mengelola tugas domestik.

Selain itu, perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga sering menghadapi stigma sosial. Meskipun mereka bekerja keras untuk mendukung keluarga, mereka dianggap gagal memenuhi “peran tradisional” sebagai ibu atau istri yang ideal. Hal ini menciptakan tekanan tambahan yang memengaruhi kesejahteraan mental dan emosional mereka.

Kesetaraan atau Alat Eksploitasi?

Apakah kesetaraan gender benar-benar sudah tercapai jika perempuan masih harus menghadapi diskriminasi upah, pelecehan di tempat kerja, atau beban ganda? Narasi pemberdayaan perempuan sering kali dijadikan tameng oleh perusahaan untuk menunjukkan “wajah ramah” mereka, tetapi pada saat yang sama mengabaikan struktur yang tidak adil.

Sebagai contoh, banyak perusahaan yang menggunakan label “women-friendly” dengan menawarkan fasilitas seperti cuti melahirkan atau ruang laktasi. Namun, ini hanyalah solusi sementara yang tidak menyentuh akar masalah, yaitu budaya kerja yang tidak fleksibel dan bias gender yang terus mengakar.

Jalan Menuju Solusi

Untuk menciptakan kesetaraan gender yang sejati, diperlukan perubahan sistemik yang mendalam. Perusahaan perlu memulai dengan membongkar struktur internal yang bias terhadap gender, mengevaluasi kebijakan, dan memastikan bahwa tidak ada diskriminasi dalam hal upah atau peluang. Selain itu, dunia kerja yang fleksibel harus menjadi norma. Dengan menawarkan opsi kerja yang fleksibel bagi semua pekerja, perempuan dapat lebih mudah menyeimbangkan tanggung jawab profesional dan domestik mereka tanpa stigma.

Pendidikan tentang redistribusi tugas rumah tangga juga menjadi kunci penting. Dari usia dini, anak-anak perlu diajarkan bahwa tanggung jawab domestik bukanlah tugas eksklusif perempuan. Dengan cara ini, beban kerja perempuan dapat lebih ringan, memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pengembangan diri dan karier.

Selain itu, pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi progresif yang melindungi pekerja perempuan dari berbagai bentuk eksploitasi. Upah yang setara, jam kerja yang manusiawi, dan perlindungan terhadap pelecehan di tempat kerja adalah langkah-langkah konkret yang harus diterapkan. Dengan memastikan perlindungan ini, perempuan tidak hanya akan merasa lebih aman, tetapi juga lebih dihargai dalam lingkungan kerja mereka.

Perubahan ini membutuhkan kerja sama lintas sektor. Perusahaan, pemerintah, komunitas, dan individu harus bersinergi untuk menciptakan dunia kerja yang benar-benar adil. Hanya dengan cara ini kesetaraan gender dapat tercapai tanpa menyisakan ruang untuk eksploitasi yang berkedok pemberdayaan.

Kesetaraan gender bukan sekadar tentang perempuan mendapatkan akses ke dunia kerja, tetapi juga memastikan mereka tidak terjebak dalam lingkaran eksploitasi. Jika struktur sosial dan ekonomi yang tidak adil tetap dibiarkan, maka kesetaraan yang kita rayakan hari ini mungkin hanyalah mitos yang memperpanjang ketidakadilan. Perempuan pekerja layak mendapatkan lebih dari sekadar tempat di meja kerja—mereka berhak atas kondisi yang benar-benar adil dan setara. (TiaraTale)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *