“Mimpi saya adalah menciptakan kretek terbaik. Tapi di dunia kretek, perempuan hanya boleh jadi pelinting saja.”
Jeng Yah merupakan representasi dari kehidupan perempuan Indonesia yang sulit menentukan kemerdekaannya sendiri. Sejak kecil perempuan menghadapi konflik eksistensi otonom dengan diri objektifnya. Tubuh dan jiwanya dipaksa untuk menyenangkan orang lain terlebih dahulu. Ia harus menanggalkan kemerdekaannya, dipaksa menjadi objek.
Begitu pun dengan Jeng Yah. Bertahun-tahun Ia harus memendam mimpi untuk menjadi peracik saus kretek. Namun selalu dilarang. Katanya kretek jadi asam kalau “kamar saus” didatangi perempuan. Bahkan, orang-orang sampai harus mengadakan ritual khusus jika ada perempuan yang masuk ke ruang saus.
Semakin berkurang kesempatan perempuan untuk melatih kebebasannya, semakin sulit juga ia menemukan potensi dirinya, semakin berkurang pula keberaniannya untuk menegaskan dirinya sebagai objek. Akhirnya perempuan sulit menggenggam dunianya sendiri.
Tradisi seringkali menentang perempuan memperoleh kemerdekaan layaknya laki-laki. Salah satu kutukan yang diterima anak perempuan sejak lahir. Namun Jeng Yah selalu memelihara mimpinya untuk merangsek masuk ke ruang racik saus kretek. Ia begitu mencintai kretek.
Sutradara begitu kental membawa isu diskriminasi pada serial ini. Jeng Yah seringkali dipandang aneh karena tak kunjung menikah. Orang tuanya juga ingin Jeng Yah menjadi istri yang baik dan berdiam diri di rumah.
Hal menarik yang muncul di Film Gadis Kretek adalah saat dialog Jeng Yah dan Soeraja (dibaca Raya-red) di Gudang Tembakau. Saat Raja mengungkapkan cintanya pada Jeng Yah, dengan tegas Jeng Yah berkata : “Hidupku hanya untuk Kretek”. Saat itu Raja berjanji untuk membantu mewujudkan mimpi Jeng Yah.
“Kamu ingin membuktikan sesuatu pada dunia? Saya ingin menjadi bagian dari mimpi itu,” ujar Raja.
Sesaat Jeng Yah begitu bahagia karena kunci ruang racik saus kretek berhasil didapatkannya. Ia juga dibantu Raja untuk meyakinkan sang ayah tentang bakat dan kecintaannya dalam meracik saus kretek. Hingga terciptalah Rokok Gadis yang disukai banyak orang.
Namun Jeng Yah tak pernah menduga, di kemudian hari, kemerdekaannya itu kembali “dicuri” oleh sebuah peristiwa. Dan Raja menyerah pada dunia. Jeng Yah dikhianati. Bahkan racikan saus miliknya (resep saus Rokok Gadis) dicuri laki-laki yang paling ia percaya dan cintai.
Dasiyah saat itu memiliki orang tua suportif. Selalu mendukung dan menghargai pilihan Jeng Yah. Namun masyarakat dan lingkungan di kala itu belum “siap” menerima Jeng Yah.
Dasiyah yang susah payah memegang dan mempercayai mimpinya, harus menyerah ketika peristiwa 1965 meletus. Mimpi Jeng Yah kembali pupus. Sutradara Ifa dan Kamila sangat tepat menempatkan peristiwa tersebut sebagai akar masalah kehancuran mimpi Dasiyah.
Film ini lebih dari sekadar kisah cinta. Muatan sejarah dan politik sangat kental didalamnya. Peristiwa 1965 digambarkan epic dan menyatu dengan Gadis Kretek tanpa mengurangi esensi peristiwa itu sendiri.
Masing-masing karakter digambarkan menyisakan trauma atas peristiwa tersebut. Bagaimana keluarga, cinta, dan ekonomi diporakporandakan peristiwa tersebut. Masing-masing orang dituntut untuk kembali bangkit di tengah trauma.
Magdalene menulis, keluarga eks tahanan politik menjalani hidup yang berat usai bebas dari tahanan. Stigma negatif dan perlakuan diskriminatif sangat melekat seperti dosa turunan.
“Kita semua punya titik terendah. Kalau orang menyebutnya luka, saya menyebutnya pelajaran,” ucap Jeng Yah dalam sebuah dialog.
Dengan stigma negatif sebagai mantan tahanan politik akibat fitnah dari saingan bisnis keluarganya, Jeng Yah berkali-kali bangkit dan kembali ke ruang saus kretek. Sebuah semangat dan sikap yang masih relevan untuk dicontoh hingga saat ini. Gadis Kretek membawa banyak pesan melalui setiap hisapan kretek.
Kamila kembali berhasil membawa sosok perempuan sebagai corong perubahan dalam filmnya. Gadis Kretek adalah salah satu dari karya Kamila dengan cerita-cerita perempuan yang powerfull. (TiaraTale)