Oleh: Tiara Maulinda Habibah

Merdeka Sebelum Merdeka

Tanggal 16 Agustus 2025. Indonesia belum merayakan upacara kemerdekaan esok harinya, tapi satu orang sudah lebih dulu merayakan kemerdekaan versinya sendiri: Setya Novanto.

Ya, Ketua DPR era emas e-KTP itu resmi bebas dari Lapas Sukamiskin. Bebas bersyarat.

Ironi? Tentu. Bayangkan: sehari sebelum seluruh negeri berkumandang “Indonesia Raya” dan berteriak “Merdeka!”, seorang yang divonis 15 tahun penjara atas korupsi triliunan rupiah justru lebih dulu menghirup udara bebas.

Publik tercengang. Tapi pengacaranya tidak. Keluarganya tidak. Bahkan pejabat lapas pun tenang-tenang saja. Karena semua dinyatakan sah lewat jalur hukum yang sangat rapi: Peninjauan Kembali (PK).

PK itu sah. PK itu konstitusional. PK itu adalah hak semua warga negara.

Tapi — mari kita jujur — PK itu juga sudah lama jadi bahan olok-olok: “diskon untuk koruptor”.

Ingat Setnov?

Kalau Anda lupa, biar saya segarkan ingatan.

Setnov ini legenda. Kalau ada museum korupsi, mungkin wajahnya dipajang di ruang utama.
Tahun 2017, KPK menjeratnya dalam kasus korupsi proyek e-KTP. Negara rugi Rp2,3 triliun.

Uang segitu kalau dipakai bikin sekolah negeri, mungkin bisa untuk 2.000 sekolah baru. Kalau dipakai bangun rumah subsidi, bisa untuk 40 ribu unit.

Vonis awalnya: 15 tahun penjara + denda Rp500 juta + uang pengganti USD 7,3 juta.

Kita pikir itu sudah akhir cerita. Tapi ternyata, ini baru episode pertama. Karena Setnov punya bakat: membuat drama. Ingat, sebelum ditangkap, ia sempat “hilang”. Lalu muncul dengan leher terpasang penyangga, katanya habis kecelakaan. Media menertawakan, publik muak, tapi itulah Setnov.

Dan kini, tahun 2025, drama itu punya ending manis baginya. Ia bebas.

PK: Dari Pasal ke Pasal

PK ini menarik. Diatur di Pasal 263 KUHAP.

Bunyi sederhananya begini: terpidana boleh minta putusan ditinjau ulang kalau ada kekhilafan hakim, atau ada bukti baru.

Logikanya bagus. Karena hakim juga manusia. Bisa salah. Bisa lalai.

Tapi praktiknya: PK justru jadi jalur favorit koruptor kelas kakap.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) jelas. Dari 2004 sampai 2022, ada 213 permohonan PK dalam kasus korupsi. Sekitar 30% dikabulkan. Mayoritas hasilnya? Pemotongan hukuman.

Lihat siapa saja:
• Angelina Sondakh: Vonis 10 tahun → dipotong jadi 7 tahun lewat PK.
• Akil Mochtar: Vonis seumur hidup → jadi 20 tahun.
• Djoko Tjandra: beberapa kasusnya juga dapat keringanan.
• Sekarang Setya Novanto: 15 tahun → jadi 12 tahun 6 bulan. Ditambah remisi tahunan dan cuti bersyarat, ia hanya jalani sekitar 7,5 tahun.

Maka pertanyaan: apakah PK ini jalan mencari kebenaran? Atau jalan tol menuju kebebasan bagi mereka yang punya kuasa dan kuasa finansial?

Extraordinary Crime, Extraordinary Discount

Korupsi disebut extraordinary crime. Kejahatan luar biasa.

Tapi perlakuan hukumnya? Biasa-biasa saja.

Coba bandingkan: di China, koruptor kelas berat bisa dieksekusi mati. Di Vietnam, ada koruptor divonis hukuman mati karena merugikan negara lebih dari Rp500 miliar.

Di Indonesia? Koruptor bilang extraordinary crime. Tapi tetap boleh PK. Tetap boleh remisi. Tetap boleh cuti bersyarat. Bahkan dapat perlakuan lebih baik dibanding napi narkoba.

Bahkan, menurut data Ditjen PAS, napi korupsi justru jadi kelompok yang paling banyak mendapat remisi khusus Hari Kemerdekaan. Tahun 2023, misalnya, dari 175 ribu napi yang dapat remisi, ada lebih dari 2.000 napi korupsi di antaranya.

Extraordinary crime, extraordinary discount.

Dua Keadilan yang Bertabrakan

PK ini menyodorkan dilema.

Di satu sisi, PK adalah hak. Tidak bisa dicabut. Karena kita negara hukum. Kalau orang biasa mencuri motor boleh ajukan PK, maka koruptor pun boleh.

Tapi di sisi lain, rakyat menginginkan keadilan substantif. Bahwa korupsi — kejahatan yang merampas uang rakyat — harus dihukum berat.

Keadilan formal bertemu keadilan sosial. Dan sering, yang menang adalah keadilan formal.
Akhirnya, publik melihat: hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Data yang Menyakitkan

Mari bicara angka.

• Total kerugian negara dari kasus korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai 2022: lebih dari Rp152 triliun.
• Uang yang berhasil dikembalikan lewat eksekusi putusan hanya sekitar Rp30 triliun.
• Artinya, lebih dari Rp120 triliun hilang entah kemana.

Sekarang lihat Setnov. Kerugian Rp2,3 triliun. Hukumannya 15 tahun. Setelah PK dan remisi, tinggal sekitar 7,5 tahun. Kalau dihitung, tiap tahun di penjara “harganya” sekitar Rp300 miliar.
Diskon yang luar biasa.

Dan itu bukan hanya Setnov. Rata-rata, dari data ICW, koruptor yang berhasil PK mendapat potongan hukuman 1–5 tahun. Kalau dikumpulkan, total potongan hukuman itu bisa mencapai puluhan tahun.

Sementara rakyat kecil yang mencuri sandal di pos polisi, hukumannya bisa 5 bulan tanpa diskon.

PK: Celah atau Keadilan?

Saya jadi bertanya-tanya. PK ini dibuat untuk apa? Untuk melindungi orang dari kekeliruan hakim? Atau untuk melindungi koruptor dari kerasnya vonis?

Mungkin dua-duanya benar. Mungkin memang ada kasus salah vonis. Tapi mengapa yang paling sering berhasil PK justru mereka yang punya akses ke pengacara hebat, jaringan kuat, dan uang melimpah?

Apakah rakyat kecil yang salah vonis pernah berhasil PK? Ada, tapi bisa dihitung dengan jari. Dan biasanya bukan soal korupsi.

Solusi?

Kalau kita serius menganggap korupsi sebagai extraordinary crime, maka mekanisme hukumnya juga harus extraordinary.

Misalnya:
• PK korupsi hanya boleh sekali. Tidak bisa berkali-kali seperti sekarang.
• Syarat PK diperketat. Harus benar-benar ada novum yang signifikan, bukan sekadar dalih administratif.
• Tidak boleh ada keringanan hukuman. Kalau pun PK dikabulkan, ganti dengan sanksi lain: pencabutan hak politik, tambahan denda, atau kerja sosial.
• Pengawasan publik. Putusan PK harus dipublikasikan secara terbuka, dengan alasan hukum jelas, agar publik bisa menilai.

Kalau tidak, PK akan terus jadi olok-olok: jalur legal untuk beli kebebasan.

Merdeka, Tapi Siapa yang Bayar?

Setya Novanto kini bebas. Mungkin ia akan kembali ke keluarganya. Mungkin akan tampil di acara reuni politik. Mungkin akan diam saja. Kita tidak tahu.

Yang kita tahu: ia bebas sehari sebelum Indonesia merayakan kemerdekaan.

Sementara rakyat yang uangnya dikorupsi masih harus membayar pajak tiap bulan. Masih harus berjuang mencari kerja. Masih harus menutup defisit APBN yang pada 2025 mencapai Rp523 triliun.

PK ini memang jalan hukum. Tapi bagi banyak orang, PK hanyalah jalan tol yang bisa dipakai mereka yang punya tiket mahal.

Merdeka untuk Setnov. Tapi rakyat? Entahlah. (TiaraTale)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *