Rangkap Jabatan Wakil Menteri di BUMN: Efisiensi atau Benturan Kepentingan yang Mengikis Kepercayaan?

ilustrasi : okuekspress

Oleh: Aditya Yusup Mulyana – Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina Jakarta.

Belakangan ini, wacana mengenai praktik rangkap jabatan kembali menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat Indonesia. Sejumlah wakil menteri (Wamen) seperti Wamen Komunikasi dan Digital; Nezar Patria, Wamen BUMN Aminuddin Ma’ruf, Wakil Menteri Pertahanan, Donny Ermawan Taufanto, Wakil Menteri Perdagangan Syah Roro Esti, dan masih banyak wakil menteri yang lainnya tercatat merangkap posisi strategis sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fenomena ini, yang seringkali disertai dengan remunerasi yang signifikan, secara fundamental memunculkan pertanyaan: sejauh mana praktik ini bisa dibenarkan, baik dari kacamata hukum maupun etika? Apakah ini adalah upaya efisiensi tata kelola atau justru benih benturan kepentingan yang berpotensi merugikan negara?

Dilema Peran Ganda: Fokus yang Terpecah atau Sinergi yang Ilusif?

Realitanya, beberapa wakil menteri aktif saat ini memang menduduki kursi komisaris di BUMN-BUMN strategis. Ini tentu menimbulkan pertanyaan krusial tentang kemampuan seseorang untuk menjalankan dua peran yang sama-sama menuntut perhatian dan tanggung jawab besar. Sebagai pembantu menteri, seorang wakil menteri memiliki beban kerja yang kompleks, mulai dari merumuskan kebijakan, mengawasi implementasi program, hingga berkoordinasi dengan berbagai pihak. Lantas, bagaimana mungkin mereka bisa optimal menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan di BUMN, yang juga memerlukan pemahaman mendalam tentang operasional dan pasar?

Kita harus jujur, efisiensi waktu dan energi adalah komoditas langka bagi pejabat negara. Jika jabatan komisaris di BUMN hanya bersifat simbolis atau “honorific”, maka fungsi pengawasan terhadap perusahaan negara tersebut bisa dipastikan tidak akan optimal. Namun, jika dijalankan secara aktif dan sungguh-sungguh, justru muncul pertanyaan: bagaimana dengan efektivitas dan kualitas kinerja mereka sebagai wakil menteri? Jangan-jangan, konsentrasi yang terbagi justru akan menciptakan mediokritas di kedua lini jabatan.

Celotehan Regulasi dan Prinsip Etika Tata Kelola

Dari sudut pandang hukum positif, praktik rangkap jabatan ini memang belum secara eksplisit dilarang dalam regulasi yang ada. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN tidak secara spesifik menyebutkan larangan bagi pejabat publik untuk merangkap jabatan sebagai komisaris. Inilah celah yang seringkali menjadi argumen pembenar.

Namun, disinilah letak dilemanya. Meskipun tidak dilarang secara gamblang, semangat dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) justru menekankan pada penghindaran benturan kepentingan, transparansi, dan efektivitas pengawasan. Ketika seorang wakil menteri, yang notabene merupakan bagian dari eksekutif dan pembina kementerian, juga duduk sebagai komisaris di BUMN yang mungkin saja berada di bawah pembinaan kementeriannya, potensi konflik peran menjadi sangat nyata. Bagaimana bisa seseorang secara objektif mengawasi entitas yang secara hierarkis atau fungsional terkait dengan jabatan utamanya?

Prinsip GCG bukan sekadar aturan tertulis, tapi juga nilai fundamental yang harus dipegang teguh. Ia bertujuan menciptakan iklim bisnis yang sehat, akuntabel, dan jauh dari praktik korupsi. Keberadaan rangkap jabatan ini, suka atau tidak suka, sedikit banyak mengikis fondasi GCG yang kokoh.

Erosi Kepercayaan Publik dan Kinerja BUMN

Dampak dari rangkap jabatan ini tidak hanya berkutat pada ranah hukum dan etika, tetapi juga merambat ke aspek kepercayaan publik dan kinerja BUMN itu sendiri. Dalam perspektif manajemen krisis dan reputasi, langkah ini seringkali ditafsirkan sebagai akumulasi kekuasaan dan fasilitas bagi pejabat, bukan semata-mata demi penguatan tata kelola BUMN. Persepsi inilah yang pada akhirnya memunculkan ketidakpercayaan dan sinisme terhadap pemerintah serta pengelolaan aset negara. Publik bisa jadi beranggapan bahwa jabatan komisaris BUMN adalah “hadiah” atas posisi politik, bukan karena kapasitas profesional yang mumpuni.

Kinerja BUMN sendiri bisa terpengaruh. Jika fungsi pengawasan komisaris tidak berjalan optimal karena waktu dan fokus yang terbagi, maka potensi inefisiensi, penyalahgunaan wewenang, hingga kerugian finansial bisa mengintai. Kita tidak ingin BUMN, yang sejatinya adalah pilar ekonomi negara, menjadi “lapangan parkir” bagi pejabat yang memiliki jabatan ganda.

Mendesak Reformasi Tata Kelola: Profesionalisme adalah Kunci

Situasi ini mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik rangkap jabatan. Pengisian jabatan komisaris di BUMN seharusnya didasarkan sepenuhnya pada profesionalisme, kompetensi, dan integritas yang teruji, bukan sekadar afiliasi politik atau jabatan. Keterlibatan aktif pejabat negara dalam struktur komisaris, meskipun dengan niat baik, secara inheren dapat melemahkan independensi pengawasan di dalam perusahaan negara.

Selain pembatasan rangkap jabatan, pemerintah juga perlu memperkuat sistem seleksi dan pengawasan terhadap komisaris BUMN. Proses rekrutmen harus lebih transparan, melibatkan tim panel independen, dan bukan sekadar penunjukan politis. Keterlibatan publik dan lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sangat penting untuk memastikan proses yang akuntabel dan mencegah praktik-praktik yang tidak etis. Revisi regulasi, jika diperlukan, harus berani menutup celah yang selama ini dimanfaatkan.

Membangun Kepercayaan Melalui Keteladanan

Pada akhirnya, praktik rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN, meskipun tidak sepenuhnya melanggar hukum, secara prinsip tata kelola dan etika publik, patut dipertanyakan. Pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan keteladanan dalam menjalankan prinsip integritas, efisiensi, dan transparansi.

Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan BUMN tidak bisa dibangun hanya melalui komunikasi persuasif atau narasi positif. Ia harus diwujudkan melalui kebijakan yang konkret, berpihak pada kepentingan publik, dan didasarkan pada tata kelola yang bersih. Ini adalah momen krusial bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam membangun birokrasi dan korporasi negara yang profesional, bebas dari potensi konflik kepentingan, dan benar-benar melayani rakyat.

Bagaimana menurut Anda, apakah sudah saatnya Indonesia memiliki aturan yang lebih tegas mengenai rangkap jabatan bagi pejabat publik?(clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *