Suasana konferensi pers pada 6 Maret lalu tentang kasus kematian ibu dan janinnya warga Desa Buniara di ruang rapat Bupati Subang.

Catatan Lukman Enha

PERISTIWA meninggalnya ibu dan anak dalam kandungannya pada pertengahan Februari lalu, menghentak kita semua. Dari mulai masyarakat biasa hingga pejabat tinggi. Mengingatkan kembali pentingnya layanan kesehatan dan tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Mulai dari bidan, perawat, dokter dan dokter spesialis.

Mengingatkan kembali keberadaan seorang paraji di kampung-kampung. Bagian dari sejarah manusia. Bahwa orang-orang tua hari ini, dibantu lahirannya oleh seorang paraji. Kematian-kelahiran anak-anak, saat medis belum berkembang, karena peran mereka pula.

Dulu, kematian bayi bagian dari kerasnya kehidupan. Kematian bagian dari takdir. Lalu perlahan, medis berkembang pesat. Setiap kematian, diketahui penyebabnya. Tanpa maksud mengkudeta peran Tuhan yang Kuasa atas kehidupan, tapi medis memberikan penjelasan. Di sanalah ilmu kodekteran, kebidanan berperan besar. Kini setiap kematian ibu dan bayi adalah peristiwa luar biasa.

Kematian ibu dan anaknya yang masih dalam kandungan asal Desa Buniara, Tanjungsiang, mengingatkan bahwa meski medis sudah berkembang pesat tapi masyarakat Subang belum sepenuhnya lepas dari keyakinan tradisional yang kuat mengakar di masyarakat.

Dalam konferensi pers, manajemen RSUD Ciereng Subang, Dinas Kesehatan, mengakui ada peran seorang paraji. Membantu memijat sang ibu sebelum dibawa ke bidan desa. Dalam konferensi pers itu, tentu pihak Dinkes sangat terbebani. Mereka tidak bermaksud menyalahkan siapa pun, apalagi paraji atau bidan. Sebab, siapa pun bisa melakukan kesalahan. Sekelas dokter spesialis pun.

Hal itu menunjukan, warga di desa, masih meyakini kehadiran dan keahlian paraji. Mereka berperan: memijat ibu hamil atau memijat ibu setelah lahiran. Warga sunda, di kampung mengenal paraji yang memiliki keahlian memijat ibu hamil untuk memperbaiki posisi janin. Istilahnya: disangsurkeun, digedogkeun.

Dengan harapan, janin dengan posisi sungsang, tidak dalam posisi tepat untuk lahiran, bisa kembali normal. Kelak janin bisa dilahirkan secara normal, tidak perlu melalui operasi bedah sesar.

Saya pun, anak yang dilahirkan dengan bantuan tangan seorang paraji di kampung. Para dokter spesialis hari ini, antara usia 50-60 tahunan, bisa jadi, ada yang dilahirkan dengan bantuan paraji. Sangat besar peran paraji bagi kelahiran anak-anak di Indonesia. Maka, di tahun 1990-an, pemerintah secara rutin memberikan pelatihan kepada paraji.

Keahlian dan keberadaan mereka diakui negara. Kadang mereka juga disebut dukun lahiran. Sebab, saat membantu proses lahiran atau persalinan, mereka seringkali mempraktikan ritual tertentu. Menandai hadirnya kehidupan baru di dunia. Menjadi bagian dari budaya Indonesia. Negara mana pun di dunia, punya ritual atas lahirnya seorang manusia ke dunia. Kelahiran dan kematian selalu melahirkan ritual budaya.

Kembali kepada kasus kematian ibu dan anak warga Desa Buniara. Siapakah ibu yang melahirkan itu? Anda semua sudah tahu. Kasusnya viral di mana-mana. Di media sosial hingga televisi. Semua membicarakannya. Yang bikin heboh, penyebab utama ibu dan janin di dalam kandungannya meninggal karena ditolak oleh RSUD Subang.

Mereka berangkat dari Puskesmas Tanjungsiang didampingi bidan. Ditolak RSUD. Cari rumah sakit lain. Terlambat. Akhirnya meninggal di perjalanan menuju RS Hasan Sadikin Bandung.

Duarr! Viral setelah dua minggu kemudian.

Ibu dan janin di dalamnya meninggal pada 16 Februari 2023.

Heboh diberitakan di awal Maret 2023.

Konferensi pers 6 Maret 2023.

Saya, tidak bisa berbuat banyak. Biasanya sibuk menugaskan wartawan. Tapi kini sudah tidak punya anak buah wartawan. Tidak bisa menyusun rencana liputan mendalam. Setelah mundur dari media terbesar di Subang.

Akhirnya, saya ikuti saja berita satu persatu. Baik media lokal hingga nasional. Tugas sakral seorang jurnalis: memverifikasi data dan informasi. Memeriksa kata kunci, data kunci. Mencari dan mewawancara saksi kunci dari sebuah peristiwa.

Selebihnya mempelajari hukum, aturan atau kebijakan baku yang berkaitan dengan sebuah aturan. Selebihnya lagi, pandangan mata di lapangan.

Saya belum menemukan berita yang mengurut peristiwa dari hari dan jam secara detil. Jam berapa sang ibu datang ke bidan desa. Apa saja yang dilakukan bidan disa di sana. Lalu jam berapa berangkat ke Puskesmas. Apa saja yang dilakukan bidan dan dokter di Poned Puskemas. Jam berapa konfirmasi ke RSUD, berangkat dan berangkat ke RS Hasan Sadikin. Jam berapa menghembuskan nafas terakhir.

Sebab kita tahu, dalam proses persalinan-lahiran, setiap detik sangat menentukan. Kita akan menemukan data-data berurutan dan istilah-istilah: bukaan satu, dua dan seterusnya. Jika datang sore hari, bisa jadi lahirannya tengah malam atau keesokan harinya.

Informasi ini masih sumir. Apa yang dilakukan bidan desa dan bidan di Puskesmas. Apa pula yang dilakukan sebelum dibawa ke bidan desa. Jika pun ada, masih terpotong-potong. Yang terpenting: mengapa ibu hamil itu ingin dipijat paraji?

Saya harus berterimakasih kepada legislator cum Youtuber terkenal: Dedi Mulyadi. Channel Kang Dedi Mulyadi ini menyampaikan banyak informasi penting. Ia sudah melakukan ‘liputan’ kasus kematian ibu dan anak secara berimbang. Cover both side.

Sementara media, masih memuat informasi yang sepotong-sepotong. Mohon maaf saya harus bilang: narasi belum berimbang. RSUD, Dinkes dan Pemda ‘dihukum’ oleh media: trial by press.

Beritanya terlalu dini menyimpulkan: Ibu dan Anak meninggal karena ditolak RSUD. Di akhir berita disebut: RSUD masih bungkam atau sulit dikonfirmasi. Tanpa dijelaskan kesulitan konfirmasinya seperti apa.

Saya pernah disidang Dewan Pers. Perihal kewajiban konfirmasi oleh media kepada nara sumber. Tidak sesederhana cukup membubuhkan kesulitan konfirmasi. Tapi harus dijelaskan bagaimana upaya media itu konfirmasi. Dalam hal konfirmasi, dewan pers akan keras memeriksanya. Sebab ini berkaitan dengan verifikasi fakta. Tidak boleh pula ditunda-tunda.

Sebaliknya, saya pun memaklumi kesulitan media. Saat situasi kritis, sering seorang pejabat takut menyampaikan pendapat. Mereka tidak dilatih menyampaikan komunikasi krisis. Tidak juga percaya kepada para humas lembaga atau justru tidak punya tenaga humas yang kompeten.

Ke mana humas RSUD, humas pemda, humas Dinkes? Ada. Tapi bisa jadi takut salah saat di pusaran arus ‘viral’ kasus ini.

Channel Youtube Kang Dedi Mulyadi memuat informasi banyak hal yang berharga. Penjelasan nara sumber kunci: suami pasien, bidan yang antar pasien ibu hamil ke RSUD. Penjelasan dari Dirut RSUD tentang peristiwa kematian sang ibu.

Dari channel Youtube itu ada penjelasan:

Bidan menegaskan RSUD tidak menolak pasien. Ia inisiatif membawa pasien ke RS Hasan Sadikin setelah ICU RSUD penuh. Jumlah ruang ICU Ponek RSUD memang penuh, terbatas. Bidan di Ponek menyarankan agar pasien dibawa ke rumah sakit lain atas saran dokter spesialis kandungan. Komunikasi antara RSUD dengan bidan tidak efektif.

Bidan yang menghubungi RSUD berbeda dengan bidan yang antar pasien. Akibatnya: informasi ruang ICU penuh tidak diketahui sejak awal oleh bidan yang antar pasien. Jika tahu sejak awal, mungkin bidan akan mengantar pasien langsung ke Bandung.

Ini yang terpenting: mengapa sang ibu muntah darah dan kesehatannya drop? Bidan desa menyebut, sebelum dibawa ke bidan, sang ibu dipijat oleh paraji. RSUD dan Dinkes menduga, inilah penyebab kematian yang fatal.

Diduga tali ari-ari (placenta) janin terlepas karena pijatan itu. Akhirnya terjadi pendarahan di rongga perut ibu, itulah penyebab sang ibu muntah darah. Saat begini, perlu tindakan operasi. Artinya, perlu penanganan di ruang ICU. Tidak bisa dilakukan di ruangan perawatan biasa.

Semua penjelasan itu sudah terlambat. Tidak banyak media yang mengoreksi. Hanya sampai di penjelasan hasil konferensi pers. Apa daya, RSUD sudah terlanjur di-bully se-Indonesia. Bahkan dibahas di senayan. Sang direktur menghadapi ancaman pencopotan. Tekanan dari mana-mana. Gelombang demo akibat informasi itu masih bergulir.

Semua bermuara di kepala daerah. Bupati dalam senyap, menginstruksikan audit pelayanan dari Puskesmas hingga RSUD. Dilakukan pula audit maternal perinatal (AMP). Kelak agar bisa diambil kesimpulan, apa saja yang harus dievaluasi. RSUD pun berbenah akan menambah ruangan ICU untuk persalinan.

“Kita akan rehab ICU covid-19, sekarang kan sudah jarang kasus Covid. Untuk dijadikan ICU umum,” kata Dirut RSUD, dr. Ahmad Nasuhi kepada Kang Dedi Mulyadi.

Lalu apa lagi yang harus dibenahi? Jelas, sistem rujukan rumah sakit harus dievaluasi. Pembinaan bidan pun harus terus dilakukan. Sebab keputusan bidan sangat berkaitan dengan nyawa ibu dan bayi. Mereka yang memutuskan: lahiran normal atau dibawa ke Puskesmas atau RS.

Sistem rujukan rumah sakit harus lebih cepat dan fleksibel. Memang dalam aturan Permenkes No 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, pasien yang dirujuk harus terkonfirmasi ke fasilitas Kesehatan yang akan dituju. Mulai dari identitas hingga hasil pemeriksaan sementara di Puskesmas atau bidan.

Seorang pasien harus melewati sistem rujukan berjenjang. Dari mulai layanan Kesehatan tingkat pertama di Puskesmas hingga ke jenjang berikutnya. Dalam kondisi tertentu, bidan atau perawat bisa menjadi layanan kesehatan tingkat pertama.

Dalam kondisi tertentu pula, rujukan berjenjang bisa diabaikan. Misal dalam kondisi darurat bencana, kondisi pasien yang darurat hingga kondisi geografis tertentu. Tercantum dalam Bab III pasal 4 dalam Permenkes tersebut.

Saya, pun belum lama ini mengalami berliku dan lamanya sistem rujukan itu bekerja. Saya membawa keluarga dengan kondisi drop pasca serangan jantung. Dokter menyarankan dirawat di rumah sakit dengan layanan kesehatan jantung.

Setelah dibawa ke RS di Purwakarta, disarankan dirawat di ICU jantung. Saya pun harus bergeser ke tiga rumah sakit dalam semalam. Dua kali ditolak karena ICU penuh. IGD pun penuh. Maka kami abaikan bahwa pasien punya Kartu Indonesia Sehat (KIS). Memilih bayar jalur umum saja. Akhirnya bisa ditangani.

Masalah belum selesai. Saat dikabari harus dioperasi dengan biaya puluhan juta, kami berusaha menggunakan fasilitas dan jaminan KIS itu. Setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya dari rumah sakit swasta di Karawang itu, kami berhasil mendapat rujukan ke rumah sakit milik pemerintah provinsi Jabar.

Dalam sistem rujukan itu, kami mendapat jaminan bahwa semua tindakan medis terkonfirmasi ke rumah sakit yang dituju. Lalu saat tiba di RS rujukan, semua dokumen sudah diproses dan langsung ditindak. Alhamdulilah, kami pulang dengan kondisi pasien sudah membaik, pasca tindakan operasi melalui fasilitas KIS.(clue)

By Redaksi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *