Women Support Women, Hanya Omong Kosong?

Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta 1928 (Tempo.id)

Dalam beberapa tahun terakhir, slogan “women support women” telah menjadi seruan feminisme modern. Tagar ini sering diunggah di media sosial, biasanya diiringi foto-foto perempuan yang saling memeluk, memberikan dukungan, atau membagikan pesan motivasi.

Namun, benarkah slogan ini benar-benar mencerminkan kenyataan? Atau apakah ia sekadar jargon kosong yang kehilangan substansi ketika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Saat ini, slogan “women support women” terus bergema, tetapi apakah ia benar-benar tercermin dalam tindakan nyata? Banyak perempuan merasa bahwa dukungan antarperempuan sering kali lebih merupakan sebuah utopia ketimbang kenyataan. Salah satu penyebab utama adalah kompetisi sosial yang tinggi.

Kenapa Banyak yang Merasa Ini Omong Kosong?

Dalam realitas sosial, perempuan sering kali merasa lebih dihakimi oleh sesama perempuan ketimbang mendapatkan dukungan. Body shaming, komentar pedas tentang pilihan hidup, hingga rivalitas di tempat kerja menjadi bukti nyata bahwa solidaritas antarperempuan masih kerap terhalang oleh rasa iri atau persaingan.

Tak jarang kita mendengar ungkapan, “Perempuan adalah musuh terbesar perempuan lain.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam konteks sosial yang kompetitif, dukungan sering kali tergantikan oleh dinamika rivalitas.

Selain itu, dukungan antarperempuan sering kali bersifat bersyarat. Jika seseorang dianggap berbeda, baik dalam pandangan politik, gaya hidup, atau pilihan karier, dukungan itu bisa dengan cepat berubah menjadi kritik atau bahkan kecaman. Solidaritas semacam ini menjadi eksklusif dan terbatas pada kelompok tertentu saja, tidak inklusif untuk semua perempuan.

Hal ini diperparah dengan adanya fenomena performative solidarity. Banyak dukungan antarperempuan yang hanya sebatas performatif, atau dilakukan hanya untuk menunjukkan citra positif di permukaan. Contohnya adalah komentar motivasi di Instagram atau unggahan cerita tentang pemberdayaan perempuan yang tidak diiringi dengan aksi nyata untuk mendukung perubahan atau solidaritas itu sendiri.

Faktor internalisasi norma patriarki juga memperumit situasi. Banyak perempuan tumbuh dalam masyarakat yang mengajarkan norma-norma patriarki, sehingga mereka tanpa sadar mempraktikkan pola pikir yang merugikan perempuan lain. Misalnya, menghakimi perempuan yang dianggap terlalu ambisius, terlalu bebas, atau tidak sesuai dengan norma-norma tertentu.

Namun, mengatakan bahwa “women support women” adalah omong kosong sepenuhnya juga tidak adil. Sejarah menunjukkan bahwa solidaritas perempuan telah membawa perubahan signifikan di dunia. Salah satu contoh paling nyata adalah gerakan hak pilih perempuan pada abad ke-19 dan gerakan #MeToo di era modern. Gerakan global seperti #MeToo menjadi bukti nyata bahwa perempuan dapat bersatu untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan seksual, serta membawa perubahan di berbagai sektor.

Selain itu, banyak komunitas perempuan yang terbentuk untuk mendukung satu sama lain. Komunitas seperti women in tech, women entrepreneurs, atau organisasi lokal untuk perempuan pengusaha memberikan ruang aman untuk berbagi pengalaman, belajar, dan bertumbuh bersama. Di dunia profesional, perempuan semakin sering mendukung satu sama lain melalui mentoring, networking, dan memperjuangkan hak-hak perempuan di lingkungan kerja.

Tantangan Perempuan dan Solidaritas yang Rapuh

Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana mengubah slogan ini dari sekadar kata-kata menjadi praktik nyata. Penelitian ilmiah memberikan perspektif yang relevan. Misalnya, teori kompetisi sosial (Social Comparison Theory) dari Festinger (1954) menunjukkan bahwa manusia secara alami membandingkan diri dengan orang lain untuk menilai posisi sosial mereka. Dalam konteks perempuan, tekanan budaya yang mengutamakan standar kecantikan, kesuksesan, dan peran gender tertentu sering kali membuat solidaritas rapuh. Penelitian oleh Joan Acker (1990) juga menunjukkan bagaimana struktur masyarakat patriarkal memecah belah perempuan, terutama di tempat kerja.

Teori interseksionalitas dari Kimberlé Crenshaw (1989) juga menyoroti bahwa pengalaman perempuan tidak seragam. Faktor seperti ras, kelas sosial, dan orientasi seksual memengaruhi cara perempuan mendukung (atau tidak mendukung) satu sama lain. Misalnya, perempuan kulit hitam sering menghadapi tantangan tambahan yang tidak dialami oleh perempuan kulit putih, sehingga solidaritas antarperempuan menjadi lebih kompleks.

Women Support Women, Janji yang Belum Ditepati

Dari sini, penting untuk menyoroti langkah-langkah yang bisa diambil untuk menjadikan solidaritas perempuan lebih nyata. Langkah pertama adalah menghilangkan kompetisi yang tidak perlu. Alih-alih melihat perempuan lain sebagai pesaing, kita perlu menghargai perbedaan dan fokus pada kolaborasi. Kedua, pendidikan dan kesadaran harus ditingkatkan untuk menghilangkan bias internal yang berasal dari norma-norma patriarki. Ketiga, praktikkan dukungan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dukungan tidak harus besar; bahkan pujian sederhana atau membantu perempuan lain berbicara di ruang yang didominasi laki-laki bisa berdampak besar.

Pada akhirnya, “women support women” tak bisa juga disebut omong kosong, tetapi lebih seperti janji yang belum sepenuhnya ditepati. Gerakan ini memerlukan kerja keras, kejujuran, dan komitmen dari semua pihak untuk menjadikannya lebih dari sekadar slogan Instagram. Solidaritas perempuan harus dimulai dari langkah-langkah kecil yang nyata dan inklusif, yang dampaknya bisa dirasakan oleh semua perempuan, tanpa terkecuali.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *