Hari Bumi 2025: Suara Generasi Muda, Kearifan Lokal, dan Alarm Krisis Iklim Global

Foto : lifenaturalmagazine

Jakarta – Peringatan Hari Bumi pada 22 April 2025 menjadi momentum reflektif untuk menimbang ulang relasi manusia dan alam. Bertemakan “Our Power, Our Planet” atau “Kekuatan Kita, Planet Kita”, peringatan ke-55 ini mengajak masyarakat dunia untuk bertindak nyata demi menyelamatkan bumi dari krisis iklim yang semakin memburuk.

Seruan tahun ini berfokus pada transisi menuju energi terbarukan seperti angin, matahari, air, dan panas bumi sebagai langkah menyeluruh menghadapi tantangan perubahan iklim.

Mengutip dari Kompas, berbagai peringatan Hari Bumi berlangsung di sejumlah wilayah Indonesia, termasuk di Jakarta dan Makassar. Dengan kegiatan kampanye lingkungan, penanaman pohon, hingga aksi penolakan terhadap proyek ekstraksi sumber daya yang di nilai merusak.

Di tingkat global, perayaan serupa juga terlihat di berbagai kota besar dunia seperti London, Barcelona, dan Tokyo. Kota – kota tersebut menggelar festival musik, bazar pangan segar, hingga diskusi edukatif bertema keberlanjutan.

WHO : Terjadi Peningkatan Gas Rumah Kaca

Namun di balik gegap gempita ini, ancaman nyata perubahan iklim terus menghantui. Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), konsentrasi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan nitrogen oksida terus meningkat drastis dibanding era pra-industri.

Pada 2024, suhu rata-rata global naik hingga 1,55 derajat Celsius, melewati ambang kritis yang telah di sepakati dalam Kesepakatan Paris 2015. Hal ini menandakan kegagalan kolektif global dalam menahan laju pemanasan dan membawa dunia menuju titik kritis atau “tipping points”. Batas di mana perubahan iklim menjadi permanen dan tak terkendali.

Kemudian, mengutip dari krjogja, kondisi ini kian mengkhawatirkan generasi muda. Sebuah survei global tahun 2021 dalam laporan Climate Anxiety in Children and Young People menunjukkan bahwa 59 persen responden muda merasa sangat khawatir terhadap perubahan iklim. Dengan lebih dari 75 persen menganggap masa depan mereka sangat menakutkan akibat dampaknya.

Kondisi ini menegaskan bahwa Generasi Y, Z, dan Alpha menanggung beban berat krisis iklim. Meski mereka bukan pelaku utama emisi gas rumah kaca masa lalu.

Kemudian, kekhawatiran tersebut tak hanya berwujud keresahan psikis, tetapi juga nyata dalam bentuk aktivisme. Seperti gerakan Fridays for Future gagasan Greta Thunberg. Serta aksi Aksi Muda Jaga Iklim (AMJI) di Indonesia, menunjukkan bahwa generasi muda tak tinggal diam.

Mereka melakukan penanaman ribuan pohon, bersih-bersih lingkungan, dan menyuarakan penolakan terhadap proyek yang merusak ekosistem. Semua ini menjadi ekspresi kuat dari ketakutan mereka akan warisan bumi yang rusak.

Di tengah krisis global ini kita sebagai publik harus sadar dan kembali kepada nilai-nilai kearifan lokal. Seperti falsafah Jawa Hamemayu Hayuning Bawono yang berarti memperindah keindahan dunia.

Falsafah ini menekankan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, serta sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi dan kekayaan alam di kuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Foto : kompaspedia

Penanaman Rasa Cinta Terhadap Bumi pada Generasi

Menurut Kianto Atmodjo, dosen Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, penghayatan nilai-nilai tersebut harus diintegrasikan dalam sistem pendidikan dan kehidupan masyarakat.

Sehingga, Pendidikan berbasis nilai yang mengajarkan cinta bumi, sesama, dan Sang Pencipta menjadi penting untuk mencetak generasi yang berempati dan peduli lingkungan. Iman sejati, menurutnya, mencakup juga tanggung jawab ekologis seperti hidup hemat energi dan tidak mencemari lingkungan.

Transisi menuju energi bersih pun dianggap sebagai kebutuhan mendesak. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan ekonomi hijau yang menggabungkan pertumbuhan, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Hari Bumi 2025 bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan seruan moral bagi semua elemen masyarakat untuk bergerak bersama. Ini adalah momentum menyatukan suara generasi muda, warisan kearifan lokal, dan dorongan transisi hijau sebagai fondasi masa depan bumi yang lebih layak huni.(clue)

Baca juga : Kemacetan Parah Lumpuhkan Akses Pelabuhan Tanjung Priok, Lebih dari 4.000 Truk Menumpuk

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *