Mengungkap Mahalnya Beras di Lumbung Padi Nasional

Liputan Khusus

Oleh : Sinta Agustiana

Tingginya harga beras di berbagai wilayah di Indonesia semakin meresahkan masyarakat. Inflasi yang menyebabkan harga bahan pokok terutama beras dirasa  semakin mencekik, tak terkecuali oleh masyarakat Subang.

Dini, seorang penjual ayam geprek rumahan di Kalijati mengaku semakin kesulitan untuk memutar modal. Ia menyebutkan harga beras dan cabai dipasaran sudah mulai tidak bersahabat.

“Beras biasa aja udah 14 ribu rupiah , belum cabe sekilo saya beli nyampe 90 ribu rupiah, pedagang (kecil) kaya saya bingung muter uangnya,” ungkap Dini.

Bukan hanya harga beras yang merangkak naik. Masyarakat juga mengeluhkan ketersediaan beras yang menipis. Merespon hal tersebut, Pj Bupati Dr. Imran langsung melakukan sidak pasar.

Hasilnya harga beras di pasar memang cukup tinggi. Pj Bupati Subang ini juga menyatakan dirinya tak menemukan beras asli Subang dijual di pasar. Padahal Subang merupakan lumbung padi ketiga nasional.

“Yang lebih penting lagi manajemen produksinya itu bagaimana. Bagaimana hasil pertanian bisa disimpan di tingkat daerah. Ini ada masalah karena di pasar Subang tidak ada beras produk asli Subang. Mungkin kita jual padi tapi beli beras,” tegasnya.

Integrasi Data Jadi Kunci

Berangkat dari permasalahan tersebut, Cluetoday menemui Dr. Gugyh Susandi yang merupakan akademisi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).

Dr. Gugyh menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan dalam menangani permasalahan beras dari hulu ke hilir. Hal yang utama ia tekankan adalah ketersediaan data, saat ini, TPID bahkan belum punya data yang updating baik data on farm maupun off farm (pasca panen).

“Kalo mau menangani inflasi beras,  pertama kita harus fokus ke ketersediaan data. Data harus updating, kita analisis, monitoring, baru kita keluar strateginya,” ujar Gugyh.

Menurutnya hal ini membutuhkan peran penting dinas terkait seperti Dinas Pertanian, DKUPP, Dinas Ketahanan Pangan dan peran Bulog.

Kebutuhan akan beras bagi masyarakat Subang berada di rentang 10.000 – 17.000 ton beras per bulan. Sementara, ketersediaan beras masih di angka 55.000 ton perbulan. Sehingga secara data, beras di Subang masih surplus.

“Intinya secara data, neraca pangan itu kita surplus. Meskipun padi tidak 100 persen jadi beras. Kalo kebutuhan kita 10 ribu kita masih punya 45 ribu ton, kalo kebutuhan 17 ribu kita masih punya 38 rb ton,” papar Gugyh.

Meski begitu, manajemen produksi beras harus memperhatikan masa panen yang terjadi selama 3 kali dalam setahun. Luas panen yang terbagi 3 tersebut haruslah mencukupi kebutuhan beras yang akan digiling untuk beras konsumsi.

“Kita punya sekitar 80 ribuan luas panen, 80 ribu luas panen tersebut harus dipecah agar dalam setahun, masa panen tepat dengan jadwal panen,” ujarnya.

Petani Hasilkan Gabah Kosong

Fakta di lapangan, masa tanam dan masa panen memang tidak terkelola dengan rapi. Para petani hanya mengikuti alur dan tidak tahu harus bagaimana ketika terjadi ketidakseragaman ataupun pembagian masa panen yang tidak merata.

Sumi yang merupakan salah satu petani dari Dawuan, Subang menyebutkan memang terjadi ketidakseragaman waktu panen di suatu wilayah. Ia menyebutkan hal tersebut berdampak pada invasi hama yang sulit terkendali. Yang terjadi adalah hasil panen yang tidak baik.

Sumi menyebutkan, gabah yang dipanen memang ada, tapi tidak terdapat butiran beras atau kosong.

“Pare mah aya (padi mah ada), tapi kosong, hampang (ringan),” kata Sumi.

Harga gabah di lapangan memang cenderung tinggi, biasanya harga 1 kwintal gabah kering berkisar dari 450 ribu rupiah hingga 550 ribu rupiah, kini melonjak menjadi 700 ribu rupiah hingga 800 ribu rupiah. Namun, petani tidak dapat meraih untung karena gabah yang dihasilkan adalah gabah kosong.

Menurut pemaparannya, dalam satu karung beras biasanya diisi hingga setengah kwintal atau 50 kg gabah. Saat ini, gabah hanya mencapai berat 40 bahkan 30 kg per karung.

Ketidakseragaman masa tanam dan masa panen tersebut menyebabkan serangan hama yang meningkat hingga terjadinya gagal panen. TPID menyebutkan hal tersebut menjadi tugas para penyuluh pertanian.

“Petani itu ada yang memang bisa diatur, ada yang pengennya gitu, disitulah pentingnya penyuluh,” ungkap Dr. Gugyh.

Dr. Gugyh menekankan agar dinas terkait ikut hadir dalam permasalahan dari hulu ke hilir. Hal itu akan memudahkan pemerintah untuk mengatur ketersediaan stok beras sepanjang tahun.

“Pola panen belum bisa tertata, yang panen di bulan maret itu paling seratus hektaran, nah nanti di April bisa sekitar  40 ribuan, nanti sisanya 40 ribuan lagi di Agustus. Memang kenaikan harga beras itu di akhir tahun, di Desember,” terangnya.

Cuaca yang tidak bersahabat serta muncul istilah Elnino yang menghambat pertanian ditepis oleh Dr. Gugyh,  menurutnya, hal terpenting dalam mengelola ketersediaan pangan disubang adalah manajemen produksi.

“Kalau pun ada istilah El Nino dan sebagainya, kalo managemen produksi, pola tanamnya bisa diatur, kita tidak akan kekurangan. Meskipun ada faktor cuaca, jangan kalah dengan alam. Masalahnya kita gak monitoring data,” pungkasnya.

Merunut permasalahan beras dari hulu ke hilir memang bukan persoalan yang ringan. Dari mulai petani hingga jalur distribusi harus terus dikawal dengan bijak. TPID juga akan mendapatkan data akurat untuk menentukan arah strategi yang akan diambil.

Penggilingan Padi Hanya 1,3 Persen

“Dorong dong, yang kecil jadi menengah, yang menengah jadi besar”

Faktor kedua selain updating data, TPID menyebutkan jalur penggilingan padi merupakan salah satu penentu keberadaan beras Subang. Ketika disebutkan bahwa beras Subang surplus namun tidak ditemukan di pasaran, TPID mengira hal tersebut bisa saja terletak pada proses penggilingan padi skala besar.

Subang yang merupakan lumbung padi ke tiga di Jawa Barat, hanya memiliki 1,3 persen penggilingan padi skala besar. Sisanya merupakan penggilingan skala kecil yang tidak akan mampu bermodal  untuk membeli gabah petani dengan harga yang tinggi.

“Berapa jumlah penggilingan padi di subang, jumlah penggilingan padi 1877, tapi yg skala besarnya hanya 25 buah saja, atau 1,3 persen yang skala besar. Kalo skala kecil, modal dia terbatas untuk membeli gabah dari petani. Mungkin sekali panen udah abis modalnya,” ungkapnya.

Ketika penggilingan gabah skala kecil tidak mampu membeli dalam jumlah besar. Gabah akan terkumpul di penggilingan besar. Masalahnya, penggilingan besar Subang berada pada peringkat ke 5, hanya berjumlah 25 buah saja. Hal tersebut menjadikan gabah rentan bergerak untuk digiling ke luar Subang.

“Penting untuk meningkatkan penggilingan padi skala kecil agar menjadi skala besar. Supaya tidak dijual ke penggilingan di luar subang,” tutur Gugyh.

Saat ini, penggilingan besar terletak di beberapa daerah di luar Subang yaitu Cianjur, Sukabumi dan Garut. Beras yang digiling didalam Subang hanya sekitar 20 persen, 80 persennya digiling diluar Subang.

Mengatasi hal tersebut, TPID menyarankan agar pemerintah mendorong penggilingan kecil yang ada di Subang agar dapat berkembang menjadi penggilingan besar.

“Dorong dong yang kecil jadi menengah, yang menengah jadi besar,” paparnya.

Dengan pemberdayaan penggilingan padi untuk bisa scale up, diharapkan akan menahan produksi beras untuk tetap beredar di Subang.

“Banyak padi kita yang digiling di Cianjur,  berasnya dibeli sama kita. Padahal itu beras subang,” pungkasnya.

Dr. Gugyh juga menyebutkan, saat ini Subang banyak mengambil beras dari daerah Demak karena tidak adanya penggilingan padi besar yang dapat membeli gabah dengan harga yang saat ini beredar. Hal tersebut menjawab pertanyaan Pj Bupati Subang ketika menemukan beras di Subang bukanlah beras local.

“Makanya sekarang pedagang beras itu nyari berasnya dari Demak, ya tidak ada penggilingan padi besar, mereka gapunya uang untuk stok,” jelasnya.

Ia juga mengkhawatirkan penggilingan padi akan menjadi jalur kartel atau mafia beras. Untuk itu, peran pemerintah sangatlah dibutuhkan.

“Penggilingan ini dapat bekerja sama dengan kartel, makanya harus digabung oleh pemerintah, jangan sampai ke kartel,” ungkapnya.

Terjerat Aturan, Bulog Tak Mampu Selamatkan Beras Lokal Subang

Dengan peraturan yang ditetapkan, Bulog tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi tingginya harga beras di pasaran. Bulog terhalang dengan HPP (Harga Pokok Produksi) dan HET (Harga Eceran Terendah) yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, Bulog hanya dapat membeli beras local ketika kondisi beras melimpah dengan harga yang rendah.

“Makanya Bulog itu kebanyakan posisinya membeli beras dari petani ketika kelebihan supply. Bulog tidak se-powerfull seperti dulu, makanya bisa swasembada beras. Kalo bulog sekarang punya beras, itu beras impor,” katanya.

Melalui analisa tersebut, kita dapat menilai bahwa Bulog tidak mampu mengamankan ketersediaan pangan di Subang yang merupakan Lumbung Padi Nasional. Sampai saat ini, Cluetoday belum dapat menemui pihak Bulog untuk dimintai keterangan.

Dari seharusnya 38 ribu stock beras Subang, Bulog hanya mampu menyimpan 13 ribu ton saja. Bahkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan Harga Pangan) yang didistribusikan Bulog merupakan beras impor. Tahun 2024, 170 ribu ton beras akan diimpor melalui Patimban untuk didistribusikan ke wilayah Indramayu, Cirebon dan Ciamis.

HPP dan HET seolah menjadi belenggu penjerat bagi Bulog, sementara mafia – mafia beras menguasai pasar dan mengendalikan harga dipasaran. Jika terus berlangsung, meroketnya harga beras tak dapat terhindarkan.

Saatnya BUMD Ambil Peran

Bukan berarti tidak ada jalan, Gugyh mengungkapkan perlunya integrasi pasar mulai dari produsen, pengumpul, pengusaha heler, pengusaha besar sampe grosir yang diberdayakan oleh BUMD dan pengusaha lokal mitra Kadin.

Untuk merealisasikan hal tersebut, dibutuhkan keuangan fiscal dari pihak terkait agar dapat terintegrasikan. Peran BUMD seperti PT. Subang Sejahtera (PT.SS), Bank Subang dan Bank Jabar sangat dibutuhkan.

“Misalnya sekarang PT. Subang Sejahtera (SS) sekarang jualan beras, tapi baru berdagang. Belum punya produsen, lahan dimana, pengumpulnya siapa. Integrasikan oleh BUMD Subang, dari mana modalnya, dari BUMD Bank Jabar, Bank Subang, Integrasikan,” tegasnya.

Sudah seharusnya pemerintah merasakan desakan untuk lebih menajamkan taring BUMD dalam mengelola beras Subang. Hal tersebut diharapakan dapat menyelamatkan beras local Subang demi menyelamatkan gelar lumbung padi nasional dan menekan tingginya harga beras.(clue)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *