Ilustrasi: pernikahan warga Subang. Foto: Cluetoday.

Subang – Jumlah Pernikahan di Subang terus menurun. Sepanjang lima tahun terakhir, jumlah surat nikah yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Kabupaten Subang mengalami penurunan sejak tahun 2022.

Berdasarkan dokumen Badan Pusat Statistik Subang pada publikasi Subang Dalam Angka 2025, jumlah pernikahan tertinggi terjadi pada tahun 2022, yakni sebanyak 12.217 pasangan. Namun, angka pernikahan menunjukkan tren penurunan.

Pada tahun 2020, total surat nikah yang diterbitkan mencapai 12.209, lalu turun menjadi 12.124 pada 2021 dan kembali naik di 2022. Namun, pada 2023, angka ini mulai turun ke 11.289 dan kembali menurun pada 2024 menjadi hanya 10.265 surat nikah.

Secara total selama lima tahun (2020–2024), telah dikeluarkan sebanyak 57.055 surat nikah di Kabupaten Subang. Penurunan tren sejak 2022 ini dapat menjadi perhatian. Mengingat faktor ekonomi, sosial, dan pasca pandemi Covid-19 turut mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menikah.

Dari 30 kecamatan di Subang, Kecamatan Subang mencatatkan jumlah surat nikah tertinggi selama lima tahun terakhir, yakni sebanyak 4.757 pasangan. Menyusul di bawahnya adalah Ciasem (3.940), Patokbeusi (2.764), dan Cipunagara (2.367).

Sementara itu, kecamatan dengan angka nikah terendah adalah Legonkulon dengan total hanya 933 surat nikah dalam lima tahun, diikuti Serangpanjang (962), dan Sagalaherang (1.170).

Selain faktor ekonomi, perubahan minat pernikahan pada generasi muda disinyalir jadi sebab. Seperti yang dilakukan oleh Wildan Alanshori (26), warga Cisalak.

Pemuda lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini, memilih tidak buru-buru nikah meski sudah berpacaran.

“Santai dulu saya mah. Fokus mengembangkan karir,” kata Wildan seraya tertawa, saat dihubungi Cluetoday (06/05/25).

Hal tersebut merupakan kesepakatan dia dengan sang pacar. Meski secara ekonomi dinilai telah mampu.

Senada, Guntur Sudrajat (25), memilih tidak buru-buru memutuskan waktu pernikahan. Menurutnya, dia harus mempersiapkan dengan matang.

“Pernikahan itu kan sakral. Kalau kata orang Sunda, harus ada Bibit, Bebet, Bobot,” tutur Guntur, yang sehari-hari berjualan di Pasar Purwadadi.

Dinamika perubahan generasi muda dalam memandang institusi pernikahan patut dicermati.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *