Jakarta – Kontroversi terkait program pendidikan militer untuk anak-anak bermasalah kembali mencuat. Menyusul kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menerapkan program pelatihan militer bagi remaja yang dianggap “nakal”.
Program ini, yang melibatkan kerja sama dengan TNI dan Polri, bertujuan untuk mendisiplinkan remaja yang terlibat tawuran, penyalahgunaan narkoba, bolos sekolah, atau melawan orang tua. Program serupa juga diterapkan di Bengkulu dan Cianjur, serta direncanakan untuk diperluas ke daerah lain.
Mengutip dari Liputan6, anak-anak peserta program ini mengikuti pelatihan militer dengan rutinitas ketat, termasuk olahraga dan pelajaran akademik. Pihak pendukung program menilai metode ini efektif untuk membentuk karakter dan menanamkan kedisiplinan pada anak-anak dari lingkungan tidak kondusif.
Ketua LPAI, Kak Seto Mulyadi, menyebut program ini dapat membangun karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Namun ia mengingatkan agar tetap mengutamakan pendekatan ramah anak dan bebas kekerasan fisik.
Kritik Keras dari PKTA, Pelanggaran Hak Anak
Sebaliknya, kritik keras muncul dari organisasi seperti Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka mengkhawatirkan potensi pelanggaran hak anak dan dampak psikologis negatif akibat pendekatan militeristik.
Komnas HAM melalui ketuanya, Atnike Nova Sigiro, menegaskan bahwa program ini perlu pengkajian ulang. Terutama terkait kewenangan TNI dalam pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya tidak menjadi tanggung jawab mereka.
Mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Erwin Partogi, juga mengkritik kebijakan ini, menekankan bahwa barak militer bukanlah tempat yang tepat untuk pendidikan anak.
“Sesuai ketentuan undang-undang, barak militer di proyeksikan untuk pendidikan strategi pertahanan dan ketertiban negara, termasuk kemungkinan berperang. Sangat tidak cocok bila barak militer diterapkan bagi penanganan kenakalan anak-anak dan remaja,” ujarnya kepada JakartaDaily.
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, mengusulkan agar program lebih mengarah pada Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), bukan wajib militer.
“Pendidikan PPBN memiliki pendekatan yang lebih sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara,” ujar Cecep, mengutip dari Antara.
Gubernur Jawa Tengah Menentang
Program pendidikan militer ini juga mendapat sorotan dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi. Ia memilih pendekatan berbeda dalam menangani anak bermasalah.
“Kalau anak di bawah umur, kita kembalikan ke orangtuanya,” ujar Luthfi seperti laporan dari Kompleks Parlemen Senayan.

Sehingga, kontroversi ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara pendekatan disiplin melalui pelatihan militer dan pendekatan pendidikan berbasis nilai-nilai humanistik. Para ahli menekankan pentingnya solusi holistik yang melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam menangani masalah kenakalan remaja.(clue)
Baca juga : Kasus Dugaan Perintangan Hukum: Ketua Cyber Army Adhiya Muzakki Ditahan Kejagung
Follow kami : https://www.instagram.com/cluetoday_?igsh=MWU2aHg0a3g2dHlvdg==